Menyikapi Perayaan Natal

0 komentar
Menyikapi Perayaan Natal oleh Syaikh Utsaimin

Pertanyaan: Apa hukumnya mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan hari besar keagamaan mereka? Dan bagaimana kita menyikapi mereka jika mereka mengucapkan selamat Natal kepada kita. Dan apakah dibolehkan pergi ke tempat-tempat dimana mereka merayakannya. Dan apakah seorang Muslim berdosa jika ia melakukan perbuatan tersebut tanpa maksud apapun? Akan tetapi ia melakukannya hanya karena menampakkan sikap tenggang rasa, atau karena malu atau karena terjepit dalam situasi yang canggung, ataupun karena alasan lainnya. Dan apakah dibolehkan menyerupai mereka dalam hal ini?

Jawaban: Mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan Natal atau hari besar keagamaan lainnya dilarang menurut ijma’. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam bukunya ”Ahkamu Ahlidz-dzimmah”, beliau berkata: Bahwa mengucapkan selamat terhadap syi’ar-syi’ar kafir yang menjadi ciri khasnya adalah Haram, secara sepakat. Seperti memberi ucapan selamat kepada mereka pada hari-hari rayanya atau puasanya, sehingga seseorang berkata, “Selamat hari raya”, atau ia mengharapkan agar mereka merayakan hari rayanya atau hal lainnya. Maka dalam hal ini, jika orang yang mengatakannya terlepas dari jatuh ke dalam kekafiran, namun (sikap yang seperti itu) termasuk ke dalam hal-hal yang diharamkan. Ibarat dia mengucapkan selamat atas sujudnya mereka pada salib. Bahkan ucapan selamat terhadap hari raya mereka dosanya lebih besar di sisi Alloh dan jauh lebih dibenci daripada memberi selamat kepada mereka karena meminum alkohol dan membunuh seseorang, berzina dan perkara-perkara yang sejenisnya. Dan banyak orang yang tidak paham agama terjatuh ke dalam perkara ini. Dan ia tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Maka siapa yang memberi selamat kepada seseorang yang melakukan perbuatan dosa, atau bid’ah, atau kekafiran, berarti ia telah membuka dirinya kepada kemurkaan ALLAH. –Akhir dari perkataan Syaikh (Ibnul Qoyyim rahimahullah)–

(Syaikh Utsaimin melanjutkan)
Haramnya memberi selamat kepada orang kafir pada hari raya keagamaan mereka sebagaimana perkataan Ibnul Qoyyim adalah karena di dalamnya terdapat persetujuan atas kekafiran mereka, dan menunjukkan ridho dengannya. Meskipun pada kenyataannya seseorang tidak ridho dengan kekafiran, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk meridhoi syi’ar atau perayaan mereka, atau mengajak yang lain untuk memberi selamat kepada mereka. Karena ALLAH ta’ala tidak meridhoi hal tersebut, sebagaimana ALLAH ta’ala berfirman, “ Jika Kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu, dan Dia tidak meridhoi kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhoi bagimu rasa syukurmu itu.” (QS 39:7). Dan Dia subhanahu wa ta’ala berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagimu.” (QS 5:3). Maka memberi selamat kepada mereka dengan ini hukumnya haram, sama saja apakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang terlibat bisnis dengan seseorang (muslim) atau tidak. Jadi jika mereka memberi selamat kepada kita dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya mereka tidaklah diridhoi ALLAH, karena hal itu merupakan salah satu yang diada-adakan (bid’ah) di dalam agama mereka, atau hal itu ada syari’atnya tapi telah dihapuskan oleh agama Islam yang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, telah diutus dengannya untuk semua makhluk. ALLAH berfirman tentang Islam “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS 3:85). Dan bagi seorang Muslim, memenuhi undangan mereka untuk menghadiri hari rayanya hukumnya haram. Karena hal ini lebih buruk daripada hanya sekedar memberi selamat kepada mereka, dimana didalamnya akan menyebabkan berpartisipasi dengan mereka. Juga diharamkan bagi seorang Muslim untuk menyerupai atau meniru-niru orang kafir dalam perayaan mereka dengan mengadakan pesta, atau bertukar hadiah, atau membagi-bagikan permen atau makanan, atau libur dari bekerja, atau yang semisalnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka”. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam bukunya, Iqtidho’ Shirothol Mustaqiim, “Menyerupai atau meniru-niru mereka dalam hari raya mereka menyebabkan kesenangan dalam hati mereka terhadap kebatilan yang ada pada mereka bias jadi hal itu sangat menguntungkan mereka guna memanfaatkan kesempatan untuk menghina/merendahkan orang-orang yang berfikiran lemah”. –Akhir dari perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Larangan Isbal

0 komentar
sbal artinya melabuhkan pakaian hingga menutupi mata kaki, dan hal ini terlarang secara tegas baik karena sombong maupun tidak. Larangan isbal bagi laki-laki telah dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat banyak, maka selayaknya bagi seorang muslim yang telah ridho Islam sebagai agamanya untuk menjauhi hal ini. Namun ada sebagian kalangan yang dianggap berilmu, menolak (larangan) isbal dengan alasan yang rapuh seperti klaim mereka kalau tidak sombong maka dibolehkan?! Untuk
lebih jelasnya, berikut kami paparkan perkara yang sebenarnya tentang isbal agar menjadi pelita bagi orang-orang yang mencari kebenaran. Amin. Wallahul Musta'an.

DALIL-DALIL HARAMNYA ISBAL
Pertama.
“Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih. Rasulullah menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang sebanyak tiga kali, Abu Dzar berkata : "Merugilah mereka! Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab : "Orang yang suka memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu." [Hadits Riwayat Muslim 106, Abu Dawud 4087, Nasa'i 4455, Darimi 2608. Lihat
Irwa': 900]

“Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat." [Hadits Riwayat Bukhari 5783, Muslim 2085]

“Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi ersabda : "Apa saja yang di bawah kedua mata kaki di dalam neraka." [Hadits Riwayat Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad 2/96]

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, : "Saya lewat di hadapan Rasulullah sedangkan sarungku terurai, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menegurku seraya berkata, "Wahai Abdullah, tinggikan sarungmu!" Aku pun meninggikannya. Beliau bersabda lagi, "Tinggikan lagi!" Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa menjaga sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya, "Seberapa tingginya?" "Sampai setengah betis."[Hadits Riwayat Muslim 2086. Ahmad 2/33]

sbal kehaaramannya telah jelas, bahkan di dalam isbal terdapat beberapa kemungkaran yang tidak bisa diangga remeh, berikut sebagiannya..

[1]. Menyelisihi Sunnah
Menyelesihi sunnah termasuk perkara yang tidak bisa dianggap enteng dan ringan, karena kewajiban setiap muslim untuk mengamalkan setiap sendi dien dalam segala perkara baik datangnya dari Al-Qur’an atau Sunnah.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rosul, takut akan di timpa cobaan (fitnah) atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nur : 63]

[2]. Mendapat Ancaman Neraka
Berdasarkan hadits yang sangat banyak berisi ancaman neraka [2], bagi yang melabuhkan pakaiannya, baik karena sombong taupun tidak.

Dari Ibnu Abbas ia berkata ; “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [Hadits Riwayat Bukhari 5885, Abu Dawud 4097, Tirmidzi 2785, Ibnu Majah 1904]


Adab-adab Seorang Muslim Saat Makan

0 komentar

Makan dan minum sambil berdiri

Di kota-kota besar undangan pesta sering kali dilakukan dengan fasilitas dan hiburan yang serba mewah. Ketersediaan fasilitas dan hidangan VIP memang mengundang selera, namun kadang ada yang lupa, ketersediaan tempat duduk walaupun lesehan acap kali ditinggalkan.

Berkaitan dengan makan dan minum sambil berdiri, kita temukan beberapa hadits yang seolah-olah kontradiktif.

Hadits-Hadits yang melarang minum sambil berdiri

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sambil minum berdiri. (HR. Muslim no. 2024, Ahmad no. 11775 dll)

Dari Abu Sa’id al-Khudriy, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri. (HR. Muslim no. 2025, dll)

Hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya minum sambil berdiri

Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lantas minum dalam keadaan berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637, dan Muslim no. 2027)

Dari An-Nazal, beliau menceritakan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu mendatangi pintu ar-Raghbah lalu minum sambil berdiri. Setelah itu beliau mengatakan, “Sesungguhnya banyak orang tidak suka minum sambil berdiri, padahal aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sebagaimana yang baru saja aku lihat.” (HR. Bukhari no. 5615)

Dari Ibnu Umar beliau mengatakan, “Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami minum sambil berdiri dan makan sambil berjalan.” (HR. Ahmad no 4587 dan Ibnu Majah no. 3301 serta dishahihkan oleh al-Albany)

Mengenai hadits-hadits di atas ada Ulama yang berkesimpulan bahwa minum sambil berdiri itu diperbolehkan meskipun yang lebih baik adalah minum sambil duduk. Di antara mereka adalah Imam Nawawi, dalam Riyadhus Shalihin beliau mengatakan, “Bab penjelasan tentang bolehnya minum sambil berdiri dan penjelasan tentang yang lebih sempurna dan lebih utama adalah minum sambil duduk.” Pendapat Imam Nawawi ini diamini oleh Syaikh Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin, beliau mengatakan, “Yang lebih utama saat makan dan minum adalah sambil duduk karena hal ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak makan sambil berdiri demikian juga tidak minum sambil berdiri. Mengenai minum sambil berdiri terdapat hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan tersebut. Anas bin Malik ditanya tentang bagaimana kalau makan sambil berdiri, maka beliau mengatakan, “Itu lebih jelek dan lebih kotor.” Maksudnya jika Nabi melarang minum sambil berdiri maka lebih-lebih lagi makan sambil berdiri.

Dalam hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dan dishahihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Umar mengatakan, “Di masa Nabi kami makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri. Hadits ini menunjukkan bahwa larangan minum sambil berdiri itu tidaklah haram akan tetapi melakukan hal yang kurang utama. Dengan kata lain yang lebih baik dan lebih sempurna adalah makan dan minum sambil duduk. Namun boleh makan dan minum sambil berdiri. Dalil tentang bolehnya minum sambil berdiri adalah dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Nabi lalu beliau meminumnya sambil berdiri.” (Syarah Riyadhus Shalihin, Jilid VII hal 267)

Dalam kitab yang sama di halaman 271-272, beliau mengatakan, “Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang berkah. Nabi mengatakan, “Air zam-zam adalah makanan yang mengenyangkan dan penyembuh penyakit.” (HR Muslim no 2473) Dalam hadits yang lain Nabi mengatakan, “Air zam-zam itu sesuai dengan niat orang yang meminumnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dalam Targhib wa Tarhib 2/168 al-Hafidz al-Mundziri mengatakan tentang hadits ini, diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahih.)

Oleh karenanya, jika air zam-zam di minum untuk menghilangkan dahaga maka dahaga pasti lenyap dan jika diminum karena lapar maka peminumnya pasti kenyang. Berdasarkan makna umum yang terkandung dalam hadits kedua tersebut -”Air zam-zam itu sesuai dengan niat orang yang meminumnya.”- sebagian ulama menyatakan orang sakit yang meminum air zam-zam untuk berobat maka pasti sembuh, orang pelupa yang minum zam-zam untuk memperbaiki hafalannya tentu akan menjadi orang yang memiliki ingatan yang baik. Jadi, untuk tujuan apapun air zam-zam diminum pasti bermanfaat. Ringkasnya air zam-zam adalah air yang berkah.

Namun, komentar yang paling bagus mengenai hadits-hadits diatas yang secara sekilas nampak bertentangan adalah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau mengatakan, “Cara mengompromikan hadits-hadits di atas adalah dengan memahami hadits-hadits yang membolehkan minum sambil berdiri apabila dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk minum sambil duduk. Hadits-hadits yang melarang minum sambil duduk di antaranya adalah hadits yang menyatakan bahwa Nabi minum sambil berdiri.” (HR Muslim 2024)

Juga terdapat hadits dari Qotadah dari Anas, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri. Qotadah lantas bertanya kepada Anas, “Bagaimana dengan makan sambil berdiri?” “Itu lebih jelek dan lebih kotor” kata Anas. (HR. Muslim no. 2024)

Sedangkan hadits-hadits yang membolehkan minum sambil berdiri adalah semisal hadits dari Ali dan Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum air zam-zam sambil berdiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Bukhari dari Ali, sesungguhnya beliau minum sambil berdiri di depan pintu gerbang Kuffah. Setelah itu beliau mengatakan, “Sesungguhnya banyak orang tidak suka minum sambil berdiri padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sebagaimana yang aku lakukan.” Hadits dari Ali ini diriwayatkan dalam atsar yang lain bahwa yang beliau minum adalah air zam-zam sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Abbas. Jadi, Nabi minum air zam-zam sambil berdiri adalah pada saat berhaji. Pada saat itu banyak orang yang thawaf dan minum air zam-zam di samping banyak juga yang minta diambilkan air zam-zam, ditambah lagi di tempat tersebut tidak ada tempat duduk. Jika demikian, maka kejadian ini adalah beberapa saat sebelum wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, hadits ini dan hadits semacamnya merupakan pengecualian dari larangan di atas. Hal ini adalah bagian dari penerapan kaidah syariat yang menyatakan bahwa hal yang terlarang, itu menjadi dibolehkan pada saat dibutuhkan. Bahkan ada larangan yang lebih keras daripada larangan ini namun diperbolehkan saat dibutuhkan, lebih dari itu hal-hal yang diharamkan untuk dimakan dan diminum seperti bangkai dan darah menjadi diperbolehkan dalam kondisi terpaksa” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah Jilid 32/209-210)

Larangan bernafas dan meniup air minum

Etika makan dan minum tidak luput dari kajian para ulama yang semuanya bersumberkan dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak bernafas dan meniup air ke dalam gelas atau wadah air. Dalam hal ini, terdapat beberapa hadits:

Dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian minum maka janganlah mengambil nafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263)

Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk mengambil nafas atau meniup wadah air minum.” (HR. Turmudzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani)

Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan, “Larangan bernafas dalam wadah air minum adalah termasuk etika karena dikhawatirkan hal tersebut mengotori air minum atau menimbulkan bau yang tidak enak atau dikhawatirkan ada sesuatu dari mulut dan hidung yang jatuh ke dalamnya dan hal-hal semacam itu. Dalam Zaadul Maad IV/325 Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup minuman karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut. Bau tidak enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya lebih-lebih jika orang yang meniup tadi bau mulutnya sedang berubah. Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu akan bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupinya.

Anjuran bernafas sebanyak tiga kali

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum beliau mengambil nafas di luar wadah air minum sebanyak tiga kali.” Dan beliau bersabda, “Hal itu lebih segar, lebih enak dan lebih nikmat.” Anas mengatakan, “Oleh karena itu ketika aku minum, aku bernafas tiga kali.” (HR. Bukhari no. 45631 dan Muslim no. 2028)

Yang dimaksud bernafas tiga kali dalam hadits di atas adalah bernafas di luar wadah air minum dengan menjauhkan wadah tersebut dari mulut terlebih dahulu, karena bernafas dalam wadah air minum adalah satu hal yang terlarang sebagaimana penjelasan di atas.

Dimakruhkan minum dari mulut ceret, teko dan lain-lain. Dari Abu Hurairah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum dari mulut ghirbah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum yang lainnya) (HR Bukhari no. 5627)

Redaksi yang senada dengan hadits di atas juga terdapat dalam riwayat Bukhari no. 5629 dari Ibnu Abbas

Dua hadits di atas dengan tegas melarang minum dari mulut wadah air semacam teko dan ceret. Yang sesuai dengan adab Islami adalah menuangkan air tersebut ke dalam gelas kemudian baru di minum. Menurut sebagian ulama, larangan ini hukumnya adalah haram sedangkan mayoritas para ulama menyatakan bahwa larangan ini hukumnya adalah makruh. Bahkan ada juga ulama yang memahami bahwa hadits yang melarang minum dari mulut wadah air itu menghapus hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya. Menurut para ulama larangan di atas memiliki beberapa hikmah di antaranya:

  1. Nafas orang yang meminum dimungkinkan berulangkali masuk ke dalam wadah yang bisa menimbulkan bau tidak sedap.
  2. Boleh jadi, dalam wadah air tersebut terdapat binatang atau kotoran yang dimungkinkan ke dalam perut orang yang meminum tanpa disadari.
  3. Tidak menutup kemungkinan air minum tersebut bercampur dengan ludah orang yang meminumnya sehingga orang lain akhirnya merasa jijik untuk minum dari wadah tersebut.
  4. Air liur dan nafas orang yang meminum itu boleh jadi menyebabkan orang lain sakit. Hal ini terjadi bila orang yang meniup tersebut sedang mengidap penyakit menular.

Dari Kabsyah al-Anshariyyah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahku lalu beliau minum dari mulut ghirbah yang digantungkan sambil berdiri. Aku lantas menuju ghirbah tersebut dan memutus tali gantungannya.” (HR. Turmudzi no. 1892, Ibnu Majah no. 3423 dan dishahihkan oleh Al-Albani.)

Penyuguh itu terakhir minum

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Sesungguhnya orang yang menyuguhkan minuman kepada sekelompok orang adalah orang yang minum terakhir kali.” (HR Muslim no. 281)

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksud hadits orang yang menyuguhkan minuman baik berupa air, susu, kopi atau teh seyogyanya merupakan orang yang terakhir kali minum untuk mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri dan supaya jika minuman tersebut ternyata kurang maka yang kurang adalah orang yang menyuguh tadi. Tidak diragukan lagi bahwa sikap seperti ini merupakan sikap yang terbaik karena melaksanakan perintah dan adab yang diajarkan oleh Nabi. Akan tetapi jika penyuguh tersebut tidak berkeinginan untuk minum maka dia tidaklah berkewajiban untuk minum sesudah yang lain minum. Dalam hal ini penyuguh boleh minum boleh juga tidak meminum. (Syarah Riyadhus Shalihin VII/273)

Anjuran makan sambil bicara

Selama ini, di sebagian daerah bila ada orang makan sambil bicara dianggap tabu. Sudah saatnya anggapan demikian kita hapus dari benak kita, sunnah Nabi menganjurkan makan sambil bicara. Hal ini bertujuan menyelisihi orang-orang kafir yang memiliki kebiasaan tidak mau berbicara sambil makan. Kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan tidak menyerupai mereka dalam hal-hal yang merupakan ciri khusus mereka.

Dalam al-Adzkar, Imam Nawawi mengatakan, “Dianjurkan berbicara ketika makan. Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadits yang dibawakan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam sub “Bab memuji makanan”. Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Ihya mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang yang shalih dalam makanan.”

Hukum Berjilbab ( menutup aurat )

0 komentar
Dari segi model potongan dan gaya, Islam tidak menentukan corak atau jenis pakaian tertentu untuk wanita muslimah. Begitu juga dengan istilah dan penamaannya. Apakah kerudung, mukena, rukuh, jubah, jilbab, abaya, baju kurung atau lainnya.

Yang penting adalah kriteria syar`i yang ada pada pakaian tersebut. Yang pokok adalah:

1. Pakaian itu harus menutup semua aurat wanita yaitu seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Batasan aurat wanita ini mengacu kepada pendapat jumhur ulama yang menetapkan bahwa muka dan tapak tangan bukan termasuk aurat bagi wanita.

Adapun apakah harus berbentuk baju terusan atau terpisah antara atasan, bawahan dan kerudung, diserahkan kepada mode dan corak budaya masing-masing peradaban. Yang jelas intinya adalah menutup aurat. Allah SWT berfirman:

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-oarang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka�" (QS Al Ahzaab 27).

2. Pakaian itu harus lebar agar tidak mencetak bentuk tubuh wanita. Karena meski menutup seluruh tubuh, tapi kalau mencetak bentuk tubuh, sama saja dengan telanjang. Rasulullah SAW telah melaknat wanita yang memakai pakaian dengan mode seperti ini. Dimana dia berpakaian tapi tidak ada bedanya dengan telanjang.

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,�Diantara yang termasuk ahli neraka adalah wanita yang berpakaian tetapi telanjang (karena tembus pandang atau ketat mencetak tubuh), yang berjalan berlenggak-lenggok (goyang, tari dan lainnya) sehingga menarik (syahwat). Mereka ini tidak akan masuk surga dan juga tidak akan mencium baunya.� (HR. Muslim)

3. Pakaian itu tidak tipis tembus pandang sehingga sama saja dengan tidak berpakaian.

4. Pakaian itu tidak boleh menyerupai mode pakaian laki-laki, karena Rasulullah SAW telah melarang tasyabbuh (penyerupaaan) dari wanita kepada laki-laki dan begitu pula sebaliknya.

5. Pakaian itu digambari dengan gambar-gambar yang dilarang Allah, seperti manusia atau makhluq hidup lainnya.

Hukum Memanjangkan Celana

0 komentar
Menurut Sunah, seluruh pakaian pria itu (ujung bawahnya) antara pertengahan betis hingga mata kaki dan tidak diperbolehkan melewati mata kaki. Berdasarkan Sabda Rasulullah :
"Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, adalah di neraka (menyebabkan masuk neraka)". Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dengan sanad Shahih.

Tak ada perbedaan antara (celana panjang), sarung, pakaian panjang dan Ba Syti yang disebut pula dalam bahasa arab "Aba'ah". Bahwasanya Nabi Muhammad SAW menyebutkan sarung sebagai contoh bukan pengkhususan.
Lebih afdhal jika (ujung) pakaian itu hanya sampai pertengahan betis. Berdasarkan Sabda Rasulullah :
"Sarung orang mu'min itu pertengahan betisnya" (Bukhari dengan sanad shahih)

Mengapa Rasulullah dirindukan dan dicintai?

0 komentar

Rasulullah itu adalah orang yang sangat dicintai oleh para sahabatnya, umumnya para sahabat mencintai Rasulullah Saw, walau ada sebagian sahabat yang diam-diam membenci Rasulullah. Tetapi mayoritas sahabat itu sangat mencintai Rasulullah Saw.

Pernah suatu malam Rasulullah mendengar suara beberapa orang di luar kamarnya, Rasulullah menegur: “Kenapa kalian berkumpul di sini?” lalu mereka menjawab: “Ya Rasulullah, kami tidak bisa tidur khawatir ketika kami tidur nanti, orang-orang kafir datang dan membunuhmu.” Mereka sukarela menjadi satpam Rasulullah Saw, datang sendiri, tidak dibayar. Tetapi Rasulullah Saw mengatakan, “Tidak, Allah melindungi aku, pulanglah kamu ke tempat kamu masing-masing.”

Ada seorang pedagang minyak wangi, di Madinah. Setiap kali pergi ke pasar, dia singgah dulu ke rumah Rasulullah Saw, dia tunggu sampai Rasulullah keluar. Setelah Rasulullah keluar, dia hanya mengucapkan salam lalu memandang Rasulullah saja, setelah puas dia pergi. Suatu saat setelah dia ketemu Rasululllah dia pergi, lalu tak lama kemudian balik lagi dari pasar dan dia datang kepada Rasulullah Saw dan meminta izin, “Saya ingin melihat engkau ya Rasulullah, karena saya takut tidak bisa melihat engkau setelah ini.” Dan Rasulullah mengizinkannya.

Kemudian, setelah kejadian itu Rasulullah tidak pernah melihat lagi tukang minyak wangi itu. Disuruhnya sahabatnya pergi melihat, ternyata ia sudah meninggal dunia tidak lama setelah dia pergi dari pasan dan memandang wajah Rasulullah Saw itu. Lalu kata Rasulullah Saw: “Kecintaannya kepadaku akan menyelamatkan dia di hari akhirat.”

Ada lagi seorang sahabat Rasulullah bernama Abu Ayyub Al-Anshari. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau beristirahat dahulu di pinggiran kota menginap di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Rumahnya itu dua tingkat, Abu Ayyub dan istrinya di tingkat atas dan Rasulullah Saw di bawah. Pada malam hari Abu Ayub dan istrinya tidak bisa tidur karena mereka takut menggerakkan tubuhnya, semua terbujur seperti sebongkah kayu menahan dirinya untuk tidak bergerak. Mereka takut kalau bergerak, nanti debu-debu dari atas itu berjatuhan kepada Rasulullah. Setelah Rasulullah mengetahui hal itu, beliau sangat terharu lalu kepada Abu Ayub diajarkan sebuah doa sebagai penghargaan beliau atas cinta yang tulus dari Abu Ayub.

Dalam perang Uhud, ketika kaki Rasulullah terluka, ada seorang sahabat melihatnya lalu mengejar Rasulullah. Dia pegang kaki itu lalu dia bersihkan luka itu dengan jilatannya. Rasulullah kaget lalu berkata, “Lepaskan! Lepaskan!” Sahabat itu berkata: “Tidak Ya Rasulullah, aku tidak akan melepaskannya sampai luka ini kering!”

Ada lagi seorang sahabat, yang setelah Rasulullah meninggal dunia, membanggakan mulutnya yang tidak ada gigi lagi. Saat perang Uhud itu juga, Rasulullah cedera karena rantai pelindung kepalanya menusuk pipinya. Lalu seorang sahabat menarik rantai itu dengan giginya, tapi sebelum rantai itu keluar, seluruh giginya rontok. Dia bangga bahwa giginya itu berjatuhan karena membela Rasulullah yang dicintainya. Sehingga menjadi satu kebahagiaan tersendiri. Ini, sekali lagi masalah cinta, dan cinta itu selalu tidak wajar.

Ada satu contoh lagi kecintaan orang kepada Rasulullah Saw. Menjelang suatu peperangan, Rasulullah sedang membariskan pasukannya karena Rasulullah selalu merapikan barisan pasukannya. Ternyata ada seorang sahabat, mungkin karena perutnya terlalu besar, selalu perutnya itu berada di luar barisan. Kemudian Rasulullah lewat dan memukul perutnya itu agar dirapikan dengan barisan. Lalu sahabat itu memandang Rasulullah dan berkata: “Engkau diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, kenapa kau sakiti perutku?” Lalu Rasulullah turun dari kudanya, dan menyerahkan alat pemukul itu, lalu berseru: “Pukullah aku! Sebagai qishas atas kesalahanku.” Kemudian orang itu berkata: “Tapi engkau pukul langsung kepada kulit perutku.” Lalu Rasulullah segera membuka pakaiannya, tiba-tiba sahabat itu memeluk Rasulullah dan mencium perutnya. Rasulullah kaget dan berkata: “Ada apa denganmu?” Sahabat itu menjawab: “Ya Rasulullah, genderang perang sudah ditabuh, mungkin ini adalah saat terakhir perjumpaanku denganmu. Saya ingin sebelum meninggal dunia, sempat mencium perutmu yang mulia.”

Dan sahabat itu kemudian gugur di medan perang setelah mencium perut Rasulullah Saw. Rupanya ini hanya strategi dia agar bisa mencium perut Rasulullah Saw.

Kelak, setelah Rasulullah meninggal dunia, kecintaan para sahabat itu diungkapkan dengan kerinduan yang luar biasa kepada Rasulullah Saw.

Bilal yang selalu adzan semasa hidup Rasulullah tidak mau beradzan lagi setelah wafat Rasulullah karena Bilal tidak sanggup mengucapkan “Asyhadu anna Muhammad Rasululah” karena ada kata-kata Muhammad di situ. Tapi karena desakan Sayyidah Fatimah yang saat itu rindu mendengar suara adzan Bilal, dan mengingatkan beliau akan ayahnya. Bilal akhirnya dengan berat hati mau beradzan. Saat itu waktu Subuh, dan ketika Bilal sampai pada kalimat Asyhadu anna Muhammad Rasulullah, Bilal tidak sanggup meneruskannya, dia berhenti dan menangis terisak-isak. Dia turun dari mimbar dan minta izin pada Sayyidah Fatimah untuk tidak lagi membaca adzan karena tidak sanggup menyelesaikannya hingga akhir. Ketika Bilal berhenti saat adzan itu, seluruh Madinah berguncang karena tangisan kerinduan akan Rasulullah Saw.

Mengapa Rasulullah dirindukan atau dicintai? Itu bukan hanya karena Allah SWT membuka hati mereka untuk rindu, tetapi karena akhlak Rasulullah yang menarik kecintaan mereka. Dan akhlak itu adalah Sunnah. Sekiranya kita mencontoh akhlak beliau ini, pasti kitapun akan dicintai oleh banyak manusia. Tentu tidak oleh semua manusia, karena Rasulullah juga tidak dicintai oleh sem ua manusia, tidak dicintai oleh semua sahabat dan tidak dicintai oleh semua makhluk. Tapi sekiranya kita mempraktekkan akhlak Rasulullah itu dalam pergaulannya dengan orang banyak, pasti kitapun akan menjadi manusia, yang dicintai oleh kebanyakan umat manusia.

0 komentar
Muxlim
Ya....muxlim adalah sebuah situs yang hampir mirip dengan friendster, facebook, flickr, ataupun yang lainnya. Bedanya hanyalah disini lebih dominan pengunjungnya adalah kaum muslim diseluruh dunia. Pendirinya adalah seorang kewarganegaraan Inggris yang menganut agama islam. Situs ini mulai dibangun sejak awal februari 2009 lalu dan mampu menarik pengunjung sampai 2000 pengunjung. Woow...!!! hasil yang lumayan funtastis.
Fasilitas yang disediakan oleh Muxlim.com adalah seperti video, chat room, TV, dan masih banyak lagi. Pokoknya hampir mirip dengan situs pertemanan lainnya.

Bahaya Memfitnah sesama muslim

0 komentar
Berbicara tentang kejelekan orang lain dan mencelanya disebut menggunjing jika benar, dan disebut fitnah jika tidak benar. Tentu saja, tidak ada seorang manusia pun yang bebas dari dosa. Orang bijak mengatakan, manusia itu tidak lepas dari kesalahan dan lupa. Dengan begitu, manusia itu memang tidak sempurna, ia bisa berbuat khilaf.Manusia pada umumnya hidup di balik tabir, yang oleh Tuhan --dengan kebijakan-Nya-- digunakan untuk menutupi perbuatan-perbuatannya. Kalau saja tabir Ilahi ini diangkat untuk memperlihatkan semua kesalahan dan kekeliruan kita, niscaya semua orang akan lari dengan yang lain dengan rasa jijik dan masyarakat akan runtuh hingga ke dasar-dasarnya. Itulah sebabnya mengapa Allah melarang kita membicarakan kejelekan orang lain. Maksudnya agar kita terlindung dari pembicaraan orang lain mengenai diri kita.

Dengan wujud dan kelemahan manusia seperti itulah, agama kemudian melarang kita untuk saling menggunjing dan, apalagi, menfitnah. Banyak ayat suci Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW yang mencela keras segala bentuk fitnah, yang justru akhir-akhir ini makin merebak di tanah air. Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta.'' (Al-Nahl: 105).

Tidak dapat dimungkiri bahwa dampak dari fitnah bukan saja terhadap mereka yang difitnah, tapi juga terhadap masyarakat luas. Di tanah air kita sendiri seringkali terjadi keributan dan kerusuhan yang disebabkan oleh fitnah dan adu domba. Begitu besarnya bahaya dan dosa fitnah, hingga oleh Islam dikategorikannya sebagai perbuatan lebih kejam dari pembunuhan. Bahkan, Nabi Muhammad SAW lebih mempertegasnya lagi dengan sabdanya, ''Tidak akan masuk surga orang yang menghambur-hamburkan fitnah (suka mengadu domba).'' (HR Abu Dawud dan At-Thurmudzi).

Menurut Islam, perilaku manusia dan tindakannya di dalam kehidupan merupakan salah satu dari fenomena akidahnya. Untuk itu kita diminta untuk berpegang teguh pada akidah yang telah ditetapkan dan digariskan agama. Para ulama mengatakan, kalau akidah kita baik, maka akan baik dan lurus pula perilaku kita. Dan, apabila akidah kita rusak, akan rusak pula perilaku kita. Oleh karena itu, maka akidah tauhid dan iman adalah penting dan dibutuhkan oleh manusia untuk menyempurnakan pribadinya dan mewujudkan kemanusiaannya.

Adalah ajakan kepada akidah ini merupakan hal pertama yang dilakukan Rasulullah agar ia menjadi batu pertama dalam bangunan umat Islam. Hal ini, karena kekokohan akidah ini di dalam jiwa manusia akan mengangkatnya dari materialisme yang rendah dan mengarahkannya kepada kebaikan, keluruhan, kesucian, dan kemuliaan.

Apabila akidah ini telah berkuasa, maka ia akan melahirkan keutamaan-keutamaan manusia yang tinggi seperti keberanian, kedermawanan, kebajikan, ketenteraman, dan pengorbanan. Orang yang berpegang pada akidah tidak akan mau melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah pada fitnah. Karena dengan akidahnya itu, ia tidak ingin tergelincir pada jurang kedosaan yang dikutuk agama. Wallahu a'lam.
 
Copyright © MUSLIM OF THE WORLD Blogger Theme by BloggerThemes & newwpthemes Sponsored by Internet Entrepreneur