Merenungkan Isi Al-Qur’an

0 komentar
February 08, 2010 — Abdullah Hadrami (Views: 353)

Merenungkan makna al-Qur’an pada prinsipnya adalah dengan cara mentadabburi dan memikirkannya. Seorang yang bagus bacaannya adalah apabila hatinya telah melunak dengan kalam Rabbnya, konsentrasi dalam mendengarkan dan menghadirkan segenap hati terhadap makna-makna sifat dari Dzat yang berbicara kepadanya, memperhatikan kekuasaan Nya, meninggalkan ketergantungan terhadap pengetahuan dan akalnya, melepas segala rasa keberdayaan dan kekuatan diri, mengagungkan Dzat yang berfirman kepadanya, merasa hina dengan kemampuan pemahaman nya. Dengan kondisi yang istiqamah dan hati yang bersih, dengan kekuatan ilmu, kesungguhan pendengaran untuk memahami firman-Nya, seakan-akan menyaksikan jawaban yang Ghaib. Juga dengan doa orang yang merendah diri, merasa banyak kekurangan dan merasa miskin, serta dengan menanti pertolongan dari Dzat yang Maha Menolong dan Maha Tahu, dan dengan memohon pertolongan kepada-Nya agar bacaannya membawa dirinya kepada pemahaman makna. Dia menghadirkan sifat dari Dzat yang berbicara , berupa janji-Nya dengan penuh kerinduan, ancaman-Nya dengan perasaan takut dan peringatan-Nya dengan kesungguhan.

Allah subhanahu wata’alaberfirman,
”Orang-orang yang telah kami beri al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya.” (QS.al-Baqarah:121)

Dan orang inilah yang merupakan rasikh fil ilm atau mendalam ilmunya, semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan kita termasuk golongan orang seperti ini. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
”Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS. al-Ahzab: 4). (Al-Burhan, Az-Zarkasyi 2/197)

Selayaknya bagi orang yang membaca al-Qur’an untuk meresapi setiap ayat sesuai dengan konteksnya, serta berusaha memahaminya. Jika dia membaca ayat,artinya, “Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi.” (QS.al:An’am:1). Maka hendaknya dia menyadari betapa agungnya Allah subhanahu wata’ala, dan terlintas di benaknya kekuasaan Allah subhanahu wata’alaƒndan segala apa yang Dia kehendaki. Kemudian jika membaca ayat, artinya,
”Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah (air mani) yang kamu pancarkan. (QS. 56:58)

Maka hendaknya berfikir bagaimana nuthfah (air mani) dapat berubah menjadi bagian-bagian daging dan tulang. Dan jika membaca ayat tentang keadaan orang-orang yang diadzab hendaknya merasakan takut tertimpa, jika lalai dari mengerjakan perintah-perintah Allah.

Dan selayaknya seseorang yang membaca al-Qur’an mengetahui bahwa dirinya adalah yang sedang menjadi obyek sasaran dari pembicaraan al-Qur’an itu, dan dirinyalah yang mendapat ancaman. Dan kisah-kisah yang ada bukan sekedar membawakan cerita belaka, namun ia memberikan pelajaran. Maka ketika itu dia membaca al-Qur’an seperti membaca nya seorang budak, dan dirinya sedang menjadi sasaran dari tulisan tuannya. Maka hendaklah dia merenungkan al-Kitab dan mengamal kan apa yang menjadi tuntutannya. (MukhtasharMinhaj al-Qasidin, halaman 68)

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Merupakan kewajiban bagi siapa saja -yang dikhususkan oleh Allah Ta’ala dengan menghafal al-Qur’an- agar membaca dengan bacaan yang sebenarnya (haqqa tilawatih), mentadabburi dengan hakikat ibrah dan pelajarannya, memahami segela keistimewaannya dan mencari tahu apa yang asing baginya.” (al-Jami’ liahkam al-Qur’an 1/ 2)

Al-Hakim at-Tirmidzi rahimahullah berkata tentang kemuliaan al-Qur’an, “Hendaknya dibaca dengan tenang, pelan-pelan dan tartil, dan merupakan kemuliaan al-Qur’an hendaknya (dalam membaca) dengan mencurahkan ingatan dan segenap pemahaman sehingga dapat mencerna apa yang difirmankan itu. Termasuk memuliakan al-Qur’an juga hendaknya berhenti pada ayat-ayat janji (wa’d) dan berharap kepada Allah subhanahu wata’ala serta memohon keutamaan dari-Nya, berhenti pada ayat ancaman (wa’id) dan memohon perlindungan kepada Allah darinya.” (al-Jami’ liahkam al-Qur’an 1/27, dan dinisbatkan ke kitab Nawadir al-Ushul)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila membaca al-Qur’an dengan tafakkur sehingga tatkala melewati ayat yang dia (pembaca) butuh terhadap ayat itu untuk mengobati hatinya, maka hendaknya dia mengulang-ulang ayat itu meskipun seratus kali, bahkan meskipun semalam suntuk. Karena membaca satu ayat dengan tafakkur dan pemahaman, lebih baik daripada menghatamkan bacaan dengan tanpa tadabbur dan pemahaman. Dan juga lebih bermanfaat bagi hati, lebih dapat menghantarkan kepada tercapainya kesempurnaan iman serta rasa manisnya al-Qur’an.?¨ (Miftah Dar as-Sa’adah, hal 402)

Ibnu Muflih rahimahullah berkata, “Berkata al-Qadhi, “Kriteria minimal tartil adalah dengan meninggalkan ketergesaan dalam membaca al-Qur’an, dan yang sempurna adalah tartil di dalam membaca, merenungi ayat-ayat itu, memahaminya, serta mengambil pelajaran darinya meskipun sedikit di dalam membaca, dan ini lebih baik daripada terus membaca dengan tanpa pemahaman sama sekali.”

Sementara Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Seseorang yang membaca al-Qur’an hendaknya memperbagus suaranya dan membacanya dengan rasa takut dan dengan tadabbur, dan ini merupakan makna dari sabda Nabi, “Tidak pernah Allah menyeru dengan sesuatu seperti menyerunya kepada Nabi agar membaguskan suara dan memperindah dalam membaca al-Qur’an dengan mengeraskannya.” (HR. al-Bukhari no.5024, Muslim no. 297,233, an- Nasai, 2/180, Abu Dawud no.1473 dari hadits Abu Hurairah). (al-Adab asy- Syar’iyyah).

Imam as-Suyuthi rahimahullah menyifati wukuf (merenungi) makna-makna al-Qur’an dengan perkataannya, “Hendaknya hati sibuk memikirkan makna-makna ayat yang dilafadzhkan, sehingga mengetahui masing masing ayat, lalu merenungkan perintah-perintah dan larangan-larangannya, serta berkeyakinan untuk menerima itu semua. Jika pada masa lalu ia termasuk orang yang tidak perhatian terhadap masalah itu, maka dia meminta ampun dan beristighfar, jika melewati ayat rahmat maka dia gembira dan memohonnya, atau melewati ayat adzab maka merasa takut dan meminta perlidungan, atau melewati ayat tentang penyucian atau tasbih kepada Allah subhanahu wata’ala, maka hendaknya menyucikan dan mengagungkan-Nya, atau melewati ayat yang berisikan doa, hendaknya merendah diri dan memintanya. (al-Itqan fi Ulum al-Qur’an 1/ 140)

Berkata al-‘Allamah as-Sa’di rahimahullah, “Dan selayaknya dalam masalah itu (membaca al-Qur’an) hendaknya menjadikan makna sebagai tujuan, sedangkan lafazh adalah sebagai sarana untuk memahami makna, maka hendaknya melihat kepada siyaqul kalam (arah pembicaraan) serta kepada siapa pembicaraan itu ditujukan, lalu mempertemukan antara yang dia baca itu dengan pendapatnya dalam tempat (ayat) yang lainnya. Dan hedaknya dia mengetahui bahwa al-Qur’an ditujukan untuk memberi petunjuk kepada manusia baik yang ‘alim maupun yang bodoh, yang ada di kota maupun yang ada di pelosok. Barang siapa yang mendapatkan taufik untuk itu maka tidak ada yang tersisa pada dirinya kecuali akan memberikan perhatian untuk mentadabburi dan memahaminya, akan banyak memikirkan lafazh dan maknanya, kewajiban-kewajiban dan kandungan nya, serta petunjuknya baik yang diucapkan atau yang difahami. Jika seorang memang telah mencurahkan seluruh perhatian dalam masalah ini maka Allah subhanahu wata’ala akan memuliakan sebagian di antara hamba-Nya, dan Allahƒnsubhanahu wata’ala tentu akan membukakan ilmu-Nya berupa hal-hal yang tadinya tidak mampu dia usahakan. (Taisir al-Karim ar-Rahman, 12)

Oleh karena itu selayaknya keinginan atau motivasi terbesar orang shalih, baik di bulan Ramadhan atau selainnya, adalah berapa banyak al-Qur’an memberikan pengaruh dalam sikap? Bukan sekedar berapa banyak menghatamkan al-Qur’an.

Sumber: kitab, “Tadabbur al-Qur’an” karya Salman bin Umar al-Sunaidy [alsofwah]

Hati-Hati Dengan Pakaian Anda!!!

0 komentar
February 08, 2010 — Abdullah Hadrami (Views: 524)


Pengantar

Segala puji bagi Alloh Subhaanahu wa Ta’ala. Kami memuja- Nya, memohon bantuan-Nya dan mengharapkan ampunan-Nya dari kejelekan diri dan keburukan tingkah laku kami.
Orang-orang yang dibimbing-Nya tidak kehilangan jejak dan orang yang disesatkan tidak akan mendapat petunjuk.

Sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada qudwah dan panutan kita Muhammad bin Abdillah, segenap keluarga, para shahabatnya dan orang-orang yang senantiasa berpegang teguh kepada jalan dan jejak beliau sampai akhir zaman.

Sesungguhnya Alloh Subhanallahu wa Ta’ala menciptakan makhluq-Nya dengan tujuan hanya untuk beribadah kepada-Nya, kemudian Alloh mengutus rosul-rosul-Nya agar menerangkan kepada mereka akan wahyu Alloh, maka Alloh pun mewajibkan kepada manusia untuk taat kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya :

Artinya:
“Dan tidaklah Aku utus seorang rosul kecuali agar ditaati dengan izin Alloh”.(QS. An-Nisa:64)

Sedang kewajiban seorang muslim adalah ittiba’(mengikuti) Nabi kita Shollallahu alaihi wa Sallam secara utuh tanpa tawar-menawar lagi. Oleh sebab itulah Alloh pun bersumpah dengan diri-Nya, bahwa orang yang mengaku beriman tetapi ia tidak patuh dan berserah diri dengan hukum Alloh, maka terhapuslah keimanannya, Alloh berfirman :

Artinya:
“…..maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya “.(QS.An-Nisa:65)

Begitu pula peringatan Alloh terhadap orang yang menyelisihi perintah Rosul-Nya.

Artinya:
“ …maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rosul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”.( QS. An nuur: 63)

Para Salaf -semoga Alloh meridhai mereka- betul-betul memahami nilai ketaatan, mereka pun tahu bahwa kunci kebahagiaan terletak pada sejauh mana mereka mengikuti perintah Rasululloh Shollallahu alaihi wa Sallam, serta menjauhi dari apa yang dilarang, maka mereka pun berittiba’ (mengikuti) sepenuhnya baik dalam permasalahan yang kecil (ringan) hingga yang besar. Khususnya beliau banyak mengingatkan agar kita tidak terjerumus dalam Tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir dan Ahli Kitab, khususnya dalam berpakaian. Rasululloh telah menetapkan bagi umat ini pakaian yang berbeda dari umat yang lain, dalam masalah ini ada banyak perkara yang harus dilakukan oleh seorang muslim (dalam hal berpakaian), demikian pula hendaknya menjauhi apa yang dilarang oleh Rasululloh Shollallahu alaihi wa Sallam, khususnya larangan melakukan Isbal (memanjangkan pakaian sampai mata kaki).

Karenanya, dalam rubik ini sengaja kami ulas permasalahan ini dengan harapan dapat menjadi hujjah dan dalil bagi mereka yang senantiasa masih rindu terhadap kebenaran dan sekaligus sebagai jawaban bagi mereka yang masih enggan untuk mengamalkannya bahkan memperolok-olok dan mengejek mereka yang berkemauan keras mengamalkan sunnah yang satu ini. Sebagaimana firman Alloh:

Artinya:
“ Dan berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Adz dzariyat:55)

Definisi Isbal

Secara istilah yang dimaksud dengan Isbal pada pembahasan ini adalah menurunkan atau memanjangkan kain (pakaian) melebihi (di bawah) mata kaki.

Batasan Terendah Pada Kain

Berikut kami nukilkan beberapa hadits yang berbicara dan menjelaskan batasan terendah pada kain (pakaian).
Hadits Pertama

Artinya:
Dari Ibnu Umar, dia berkata , “Aku mengunjungi Rasululloh Shollallahu alaihi wa Sallam sedang aku memakai kain yang bergemerincing (karena masih baru), lalu beliau bertanya, ‘siapa itu?,’ ‘Aku …Abdulloh Ibnu Umar,’ Beliau berkata, ‘Kalau memang engkau Abdulloh maka angkatlah kainmu!,’ Kemudian aku angkat. Beliau berkata, ‘Angkat lagi!,’ Maka akupun mengangkatnya sampai setengah betis” (HR:Ahmad 2/141,147, Thobroni dalam Al Kabir 12/356, derajat hadits ini shohih)

Hadits Kedua

Artinya:
“Dari Ibnu Umar berkata : aku lewat di depan Nabi, sedang kainku melorot (karena longgar), beliau berkata : wahai Abdulloh angkatlah kainmu !, akupun mengangkatnya, angkat lagi ! (kata beliau ) akupun mengangkatnya lagi dan masih saja aku berusaha untuk tetap seperti itu sampai sebagian orang berkata: sampai seberapa ?, sampai setengah betis (jawabku)” (HR.Muslim (2086), Abu ‘Awanah 5/482, Al Baihaqi dalam As sunan 2/243)

Hadits Ketiga

Artinya:
Dari Al ‘ala’ bin Abdirrohman dari bapaknya berkata, “Aku bertanya kepada Abu Said Al khudzriy tentang kain (izaar),” Beliau berkata, ‘Kain penutup seorang muslim sampai setengah betis, dan tidak mengapa apabila diantara keduanya (pertengahan betis dan mata kaki), apa yang ada di bawah mata kaki maka (tempatnya) di neraka (beliau mengatakannya tiga kali), dan barang siapa yang memanjangkan kainnya dengan sombong, Alloh tidak akan melihat kepadanya’ ”. (Abu Daud (4093), Ibnu Majah (3574), Ahmad 3/5,6,31,44,52,97, Malik dalam Al muwatho’ hal. 914-915, Al humaidy (737), Ibnu Abi Syaibah 8/203, Abu ‘Awanah 5/483, Ibnu Hibban (1445- mawarid), Al baihaqi dalam As sunan 2/244, Al baghowi dalam syarhus sunnah 12/12 dan derajatnya shohih)

Hadits Keempat

Artinya:
Dari Hudzaifah berkata, “Rasululloh Shollallahu alaihi wa Sallam memegang otot betisku atau betisnya (begini kata Abu Ishaq, seraya mencontohkan), lalu beliau berkata: ini tempat (batas) kain, apabila engkau keberatan, maka seperti ini (beliau menurunkan satu genggam), apabila masih keberatan, maka seperti ini (menurunkan lagi satu genggam), apabila engkau menolak maka tidak ada lagi hak bagi kain di bawah mata kaki”. (HR.Tirmidzi (1783), An nasa’I 8/206, Ibnu majah (3572), Ahmad 5/382,396,398, 400, Ath thoyalisy (425), Al humaidy (445), Ibnu AQbi Syaibah 8/202, Ibnu Hibban (1447 – mawarid) Al baghowi 12/10, berkata Al hafidh Ibnu hajar dalam Al fath 10/256 : dishohihkan oleh Al hakim dan derajatnya hasan)

Hadits Kelima:

Artinya:
“Dari Anas, dari Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wa Sallam berkata : (batas tempat) kain itu sampai setengah betis, setelah beliau melihat hal ini dirasa berat oleh kaum muslimin, beliau bersabda : sampai kedua mata kaki, lebih dari itu tidak ada kebaikan padanya”. (HR.Ahmad 3/140,249,256, dan derajatnya shohih, dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/205 secara mauquf)

Hadits Keenam:

Artinya:
“Dari Abi Huroiroh berkata : Rosululloh Shollallahu alaihi wa Sallam bersabda : kain seorang mu’min ialah sampai otot betisnya, (apabila keberatan) maka sampai pertengahan betis (apabila masih keberatan), maka sampai mata kaki, apa yang di bawah mata kaki, maka (tempatnya) di neraka”. (Ahmad 2/255,287,504, Abu Awanah 5/484 dan derajatnya shohih)

Hadits-hadits ini semua jelas dan tegas menerangkan kepada kita tentang aturan berbusana bagi seorang muslim, dimana tidak diperbolehkan memanjangkan kain melebihi mata kaki, dan sunnah hukumnya (memotong kain tersebut) sampai setengah betis.
Dan dari hadits-hadits tersebut di atas bisa disimpulkan bahwa yang demikian ada tiga ukuran yang disukai :

1. Menurunkan kain sampai pertengahan betis.
2. Menurunkan kain sampai di atas pertengahan betis.
3. Menurunkan pakaian sampai di bawah pertengahan betis.

(Menurut para Ulama’ –Rahimahulloh yang sunnah adalah sampai pertengahan betis, namun jika dikhawatirkan menimbulkan kesalahpahaman dan fitnah di tengah masyarakat yang belum memahaminya (karena kurang sosialisasinya atau masyarakat yang kurang peduli agama) maka boleh menurunkannya sampai di atas mata kaki dan tidak menutupi atau melebihi mata kaki. Insya Allah hal ini tidak akan terlalu menyolok dan tidak tampak cingkrang yang menjadikan perhatian masyarakat. [Abdullah Hadrami])

Peringatan dan Ancaman

Apabila kita telah tahu aturan yang sebenarnya - tentang tidak diperbolehkannya memanjangkan kain di bawah mata kaki - kapan saja orang itu menolak hadits-hadits yang telah tetap dari Rosululloh dan menjadikannya terbuang (diremehkan), maka sungguh akibatnya tidak baik, sebagaimana banyak hadits telah menjelaskan tentang hal ini, diantaranya :

Hadits Pertama:

Artinya:
“Dari Abu Huroiroh berkata : Rosululloh Shollallahu alaihi wa Sallam bersabda : apa yang di bawah mata kaki dari kain penutup (izaar), maka (tempatnya) di neraka”. (HR.Bukahori 10/256, Ahmad 2/410,461,498, Abdur rozzaq 11/38, Abu Na’im fi Al hulyah 7/192, Al baihaqi 2/244, Al baghowi 12/12, Aahmad 5/9,IbnuAbi Syaibah 8/204, 203 dari hadits Aisyah, Ath thobroni dalam Al kabir dari hadits Samuroh bin Jundub dengan lafadz “ Ma tahta al ka’baini “ juga disebutkan oleh Imam Ahmad 5/15)

Berkata Al khottobi :” perkataan beliau “maka (tempatnya) di neraka”, bisa berarti dua makna : yang pertama : bagian kaki yang di bawah mata kaki berada di neraka, sebagai hukuman atas perbuatannya, yang kedua : sesungguhnya perbuatannya itulah yang menyebabkan ia masuk neraka, atau bisa dikatakan : perbuatan seperti ini termasuk perbuatan penduduk neraka “.

Hadits Kedua :

Artinya:
“Dari Asy syarid berkata : Nabi Shollallohu alaihi wa Sallam mengikuti seorang laki-laki dari Tsaqif sampai beliau mempercepat dalam mengikutinya, lalu Nabi memegang kain orang tersebut dan berkata : angkatlah kainmu !, seketika tampaklah kedua lututnya, lalu ia berkata : Ya Rosululloh, sungguh aku ini seorang yang cacat (bengkok pada telapak kaki) sehingga kedua lututku bersenggolan (ketika berjalan), Rosululloh bersabda : “setiap apa yang Alloh ciptakan adalah baik”. Diceritakan : “tidak terlihat dari orang tersebut kecuali kainnya berada di tengah betis sampai ia meninggal dunia” “.(HR.Ahmad 4/390, Al humaidi (810), Ath thohawi dalam masykalil atsar 2/287, Ath thobroni dalam Al kabir 7/377,378, dan derajatnya shohih)

Sungguh seseorang yang cacat kaki lalu memakai kain panjang agar tertutup kecacatannya, karena ia mengira bahwa membukanya berarti aib, tapi Rosululloh justru menyuruhnya : “angkatlah kainmu !”, kemudian orang tersebut berdalih bahwa yang membuatnya berbuat seperti itu adalah cacat pada kakinya, Rosululloh pun menjawabnya dengan sabdanya : “setiap apa yang Alloh ciptakan adalah baik”, beliau pun memberitahukan bahwa dalih seperti itu belum cukup membuat seseorang menutupi mata kakinya, lalu bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai dalih !.

Hadits Ketiga :

Artinya:
“Dari ‘Amr bin Fulan Al anshori berkata : ketika ia berjalan dan kainnya melebihi mata kaki, bertemulah ia dengan Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam, lalu beliau menaruh tangannya pada keningnya dan berkata : “Ya Alloh ini hamba-Mu dan anak hamba-Mu dan anak orang yang beriman pada-Mu”, ‘Amr berkata : Ya Rosululloh sungguh aku ini adalah seorang yang cacat kaki (betis yang tidak normal/kecil), beliau bersabda : “wahai ‘Amr sesungguhnya Alloh telah menjadikan baik apa yang diciptakan-Nya”, lalu Rosululloh mencontohkan dengan menaruh empat jari tangan kanannya pada lutut ‘Amr, dan beliau berkata : “wahai ‘Amr inilah tempat (batas) kain”, kemudian beliau menaruh di bawahnya (dengan ukuran yang sama),
dan berkata lagi : “wahai ‘Amr inilah tempat (batas) kain” “.(HR.Ahmad 4/200, berkata Al hafidz Ibnu Hajar dalam Al ishobah 7/155 : sanadnya hasan, diriwayatkan pula oleh Ath thobroni dalam Al kabir 8/277 dari hadits Umamah, Al haitsmi dalam majma’ 5/124, dan diriwayatkan oleh Ath thobroni dengan banyak sanad dan rijal yang salah satunya terpercaya)

Hadits-hadits yang telah tersebut diatas, menerangkan tentang sebab seseorang mandapatkan ancaman yang sangat keras (seperti ancaman akan neraka atau yang selainnya), dan sebabnya ialah memanjangkan kain melebihi mata kaki, setelah melihat dalil-dalil yang cukup jelas seperti ini, tidak akan bisa seseorang mengatakan bahwa ancaman dalam hadits tersebut ditujukan khusus kepada orang yang sombong ketika ia memanjangkan kainnya, karena hadits-hadits diatas cukup jelas menerangkan tentang hukuman yang wajib diketahui dan tegak diatasnya. Maka kapan saja seseorang melanggar aturan tersebut dan memanjangkan kain (di bawah mata kaki), maka ia masuk dalam kategori ancaman yang telah disebutkan dalam hadits di atas.

Hadits di atas sebagaimana pula hadits-hadits sebelumnya tidak mungkin dikaitkan dengan kesombongan , itu disebabkan karena setiap orang ingin menutupi kekurangannya secara fisik (menurut prasangkanya), artinya ketika seseorang memanjangkan kain mungkin ia tidak berniat sama sekali untuk bersombong diri, dalam keadaan seperti ini saja Rosululloh tidak mengizinkan (untuk memanjangkan kain) apalagi disertai niatan sombong.

Hukum Isbal

Ada banyak hadits yang melarang dan mencela tentang isbal (memanjangkan kain melebihi mata kaki), diantaranya :

Hadits Pertama:

Artinya:
“Dari Abu Dzar berkata : Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : ada tiga golongan, yang Alloh tidak akan mengajak bicara mereka pada hari kiamat kelak, enggan melihat mereka, enggan mensucikan mereka dan mereka akan mendapat adzab yang sangat pedih (Rosululloh mengulanginya sampai tiga kali), Abu Dzar berkata : sungguh mereka sangatlah merugi dan tidak beruntung, siapa mereka wahai Rosululloh ?, Rosululloh bersabda : mereka adalah “al musbil” orang yang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki, pengungkit akan pemberian atau kebaikan, penjual barang yang disertai sumpah palsu “.(HR. Muslim (106), Abu Daud (4087), At tirmidzi 3/516, An nas’ai 5/81,7/245, 8/208, Ibnu Majah (2208), Ahmad 5/148,158,162, 168, 178, Ath thoyalisi (468), Ibnu Abi Syaibah 8/201, Ad darimi(2608) dan Tirmidzi mengatakan : hadits hasan shohih)

Hadits Kedua:

Artinya:
“Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : sesungguhnya Alloh Azza wa jalla tidak akan melihat kepada orang yang memnjangkan kainnya (melebihi mata kaki)”(HR. An nas’ai 8/207, Ahmad 1/322, Ibnu Abi Syaibah 8/200, Ibnu Al ja’di (2340) Ath thobroni dalam Al kabir 12/41, Abu Na’im dalam Al hulyah 7/192 dan derajatnya shohih)

Hadits Ketiga:

Artinya:
“Dari Ibnu Mas’ud berkata : Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda: barang siapa yang memanjangkan kainnya (melebihi mata kaki) di dalam sholat dengan sombong, maka Alloh tidak menghalalkan baginya (syurga) dan tidak pula mengharamkan baginya (neraka) “. (Abu Daud (637), Hunad dalam Az zuhdi (846), Ath thobroni dalam Al kabir 9/315 dan derajatnya shohih)

Setelah melihat dalil di atas, seharusnya kita meneliti serta mengoreksi maknanya dengan niat mendekatkan diri kepada Alloh dan ikhlas dalam menerapkan syariat Alloh dan mempraktekkan perintah NabiNya Shollallohu alaihi wa Sallam, kenapa kita menoleh ke kiri dan ke kanan, mena’wilkan begini dan membolak balikkan maknanya hanya untuk mencari dalih pembenaran (justifikasi), padahal sebenarnya dalih yang sangat hina itu tidak mempan menolak dalil yang telah tetap (dari Rosululloh), semua itu dalam rangka mengikuti dan mentaati hawa nafsu yang banyak menyuruh kepada kejelekan, dan agar senantiasa mendapat dalih dalam memanjangkan kain, dan apabila kita ingatkan dengan hadits-hadits Nabi, ia akan menjawab : “ancaman pada hadits-hadits itu hanya untuk orang yang memanjangkannya dengan kesombongan, dan aku tidak ada niatan sombong, untuk itu boleh saja aku memanjangkannya sekehendakku” , begitulah kebanyakan jawaban manusia, apakah dengan jawaban yang lemah tersebut dapat menghalangi dalil yang telah tetap lagi kuat ?.

Walaupun sepertinya dari dhohir hadits menunjukkan akan pensyaratan sombong (ketika memakainya), tetapi Ibnu Umar rodhiallohu anhu tidak memandang seperti itu, yang beliau fahami ialah siapa saja yang memanjangkan kainnya melebihi batasan yang telah ditentukan oleh Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam, maka ia termasuk dalam kategori ancaman (sebagaimana tersebut dalam hadits), untuk itu ketika beliau melihat anaknya memanjangkan kain (melebihi mata kaki), beliau tahu bahwa anaknya bukanlah termasuk orang-orang sombong, beliaupun tidak bertanya kepada anaknya tentang niat, apakah diniatkan sombong atau yang lainnya, akan tetapi hanya sekedar beliau melihat anaknya telah memakai kain melebihi batas yang telah ditentukan, beliaupun menegurnya.

Hadits Keempat :

Artinya:
“Dari Umar bin Maimun dalam menyebutkan kisah terbunuhnya Umar bin Khottob Rodhiallohu anhu : “ ….. ketika anak itu berbalik (pulang dari mengunjungi Umar) kainnya menyentuh tanah, maka Umar berkata : panggil kembali anak itu !, Umar berkata : wahai anak saudaraku angkatlah kainmu (pakaianmu) karena yang demikian lebih mensucikan pakaianmu dan lebih menjadikanmu bertaqwa kepada RobbMu” “.(HR.Bukhori 7/60, Ibnu Abi Syaibah 8/201,2202, riwayat ini mempunyai syahid (penguat) dengan derajat marfu’ dari hadits “Ubaid bin Kholid diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Asy syamail (97 – Mukhtashor Al albani), An nasa’I dalam As sunan Al kubro sebagaimana disebutkan dalam Tuhfatil Asyroof 7/223, Ahmad 5/364, Ath thoyalisi (1190), Al baghowi dalam Syarhus sunnah 12/11, berkata Al hafidz dalam Al fathi 10/263 : dan derajat riwayat sebelumnya jayyid, namanya adalah Rohmun, dishohihkan oleh Al albani dalam mukhtashor Asy syamai)

Seorang Umar bin Khottob walaupun beliau dalam keadaan sakit menjelang kematian, tetapi ketika melihat anak kecil yang kainnya terjulur panjang, beliau tidak tinggal diam bahkan beliau menyuruh agar memanggilnya kembali sehingga dapat menyuruhnya untuk memotong kain yang dikenakan.
Dan Abdulloh Ibnu Mas’udn meriwayatkan hadits yang menyebutkan “kesombongan”, tetapi beliau justru memahami hadits tersebut sesuai dengan dhohir kalimat, sebagaimana pula difahami oleh seluruh sahabat Rodhiallohu anhum.

Hadits Kelima :

Artinya:
“Dari Ibnu Mas’ud Rodhiallohu anhu beliau melihat seorang arab gunung sholat dan kainnya melebihi mata kaki, beliau berkata : seorang yang memanjangkan kainnya dalam sholat, maka Allah tidak menghalalkan baginya (syurga) dan tidak pula mengharamkan baginya (neraka)”. (HR.Abu Daud Ath thoyalisi (351), Ath thobroni dalam Al kabir 9/315,10/284, Al baihaqi dalam Sunan-nya 2/242, berkata Al hafidz dalam al fath 10/257 : sanadnya hasan dan hal seperti ini tidak bisa ditafsiri dengan akal, untuk itu tidak mengapa untuk memahaminya sesuai dengan dhohir hadits, derajat hadits shohih dengan syarat Imam yang enam)

Kenapa Ibnu Mas’ud mengucapkan hadits ini kepada seorang arab gunung padahal ia sedang berhadapan dengan Alloh (sholat), kalau seandainya perkaranya memungkinkan dua makna yaitu antara meniatkan kesombongan dan tidak meniatkannya, kenapa Ibnu Mas’ud sampai mengatakan kepadanya tentang hal ini, bisa jadi ia memanjangkannya dengan tanpa niat sombong, jika memang perkaranya bisa diartikan seperti ini .
Akan tetapi Ibnu Mas’ud mengetahui sepenuhnya bahwa isbal itu termasuk perbuatan sombong dan orang yang berbuat isbal tidak dilihat oleh Alloh pada hari kiamat kelak, seperti telah disebutkan.

Berkata Ibnu al-‘Arobi :“tidak sepantasnya orang yang memanjangkan kainnya berkata : “aku tidak memanjangkannya karena sombong”, karena lafadz hadits telah mencakup larangan, dan tidak sepantasnya pula bagi orang yang demikian untuk menyelisihi lafadz tersebut (yang berisi larangan), karena hukumnya sama seperti orang yang mengatakan : “aku tidak akan melaksanakannya karena illah (sebab sombong) tidak ada padaku”, sesungguhnya pengakuan seperti ini tidak dapat diterima, karena justru dengan memanjangkannya berarti kesombongan”. (Aunul ma’bud 11/142)

Begitu pula Al hafidz Ibnu Hajar mementahkan sangkaan orang yang mengatakan bahwa pengharaman isbal itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sombong, beliau mambantah : “kalau memang keadaanya seperti itu, tidak ada artinya Ummu Salamah bertanya kepada Rosululloh tentang hukum wanita yang memanjangkan kainnya, bahkan beliau Rodhiallohu anha memahami bahwa isbal itu dilarang secara mutlak (bagi laki-laki dan wanita) baik dengan sombong atau tidak, maka beliau bertanya tentang hukum wanita dalam masalah ini, karena wanita justru membutuhkan akan panjangnya kain guna menutupi aurat”. (Fathul bari 10/259)

Bersamaan dengan ini Nabi Shollallohu alaihi wa Sallam mengikrarkan bahwa pengharaman isbal umum bagi laki-laki dan wanita, walaupun tidak meniatkan sombong, hal yang demikian disebabkan karena mencari tahu nya Ummu Salamah setelah ia mendengar hadits yang di bawa oleh Ibnu Umar secara marfu’ “barang siapa yang memanjangkan kainnya dengan sombong Alloh tidak akan melihatnya kelak pada hari kiamat”.

Begitupun Ummu Salamah memahami bahwa kain yang melebihi mata kaki ialah maksud dari pada larangan itu sendiri, untuk itu beliau mencari tahu dan mengikrarkan pemahamannya terhadap hadits di atas, dan dijawab oleh Nabi bahwa wanita mempunyai hak untuk memanjangkan kainnya sebatas satu hasta dan tidak lebih dari itu, sebagaimana tersebut dalam hadits yang akan datang insya Alloh .

Jika kita perhatikan dari pemahaman sahabat dan orang-orang yang mengikutinya tentang tata cara berpakaian sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rosululloh , berikut menjadikan tempat (batasan) tertentu pada badan, yang tidak berhak bagi seorangpun untuk menyimpang darinya, seperti apa yang telah beliau katakan : “ tidak ada kebaikan apa yang melebihi darinya (mata kaki)”, dan perkataan beliau “kain yang di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka”, atau lafadz-lafadz lain yang mengancam akan isbal, maka seharusnya orang yang berpegang teguh dan arif dengan agamanya akan selalu ingin menjauhkan dirinya dari kemarahan dan adzab Allah, serta senang mendapat ridho Allah, masuk syurga dan melihat wajah-Nya, karena itu sudah sewajarnya bagi kita untuk selalu berusaha dengan sungguh-gungguh dalam menjalani petunjuk dan berjalan diatas apa yang telah ditentukan oleh Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam .

Kebanyakan dalam hadits-hadits yang telah disebutkan berbicara seputar permasalahan isbal dan yang melebihi dari mata kaki, ada banyak dalil yang mengecam dan mengancam orang yang memanjangkan kainnya dengan sombong, takabbur dan merasa lebih tinggi dari yang lain, yang mengharuskan kita untuk berhati-hati dari isbal, berikut uraiannya :

Hadits Pertama :

Artinya:
“Dari Abdullah bin Umar Rodhiallohu anhuma berkata : berkata Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam : “ barang siapa yang memanjangkan kainnya dengan sombong , Alloh tidak akan melihatnya pada hari kiamat kelak”, Abu Bakar berkata : “ wahai Rosululloh sesungguhnya sebelah kainku melorot (karena kendor), tetapi aku selalu berusaha menjaga kain itu dari isbal , Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : “sungguh engkau bukan termasuk orang yang berbuat sombong” “.(HR. Bukhori 7/19, 10/254, 378, Abu Daud (4085), Nasa’I 8/208, Ahmad 2/147, Al humaidy (649),Ath thobroni dalam Al kabir 12/299, 301, Al baihaqi 2/243, Al baghowi 12/9)

Hadits Kedua :

Artinya:
“Dari Ibnu Umar bahwasannya Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : ketika seorang laki-laki memanjangkan kainnya dengan sombong, ia ditenggelamkan dengannya lalu berteriak di dalam bumi sampai hari kiamat”. (HR.Bukhori 6/515,10/258, Nasa’I 8/206, Ahmad 2/66, Hunad dalam Az zuhdi (842) dan Abu ‘Awanah 5/475-478)

Hadits Ketiga :

Artinya:
“Dari Abu Huroiroh bahwasannya Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : ketika seorang laki-laki berjalan sombong dengan mengenakan pakaian yang membuatnya ta’ajub (besar diri), Alloh pun menenggelamkannya ke dalam bumi dan ia berteriak sampai hari kiamat”.(HR. Muslim (2088), Bukhori dalam Tarikh Al kabir 1/413, 2/212, Ahmad 2/390,531, Thoyalisi (2469), Abdur rozaq 11/82, Ali ibnu Al ja’di (1168), Abu Nai’maka dalam Al hilyah 8/389)

Hadits Keempat :

Artinya:
“Dari Ibnu Umar dari Nabi Shollallohu alaihi wa Sallam Bersabda : “isbal itu pada tiga tempat : kain, qomis dan sorban, barang siapa yang memanjangkan darinya sedikit saja dengan rasa sombong, Alloh tidak akan melihatnya kelak pada hari kiamat”.(HR. Abu daud (4094), Nasa’I 8/208, Ibnu Majah (3576), Ibnu Abi Syaibah 8/208, Hunad dalam Az zuhdi (847), derajatnya hasan karena seseorang bernama Ibnu Abi rowwad yang dianggap terpercaya oleh Yahya Al qotthon, Ibnu Ma’in dan ibnul Mubarok)

Hadits Kelima :

Artinya:
“Dari Abu Huroiroh berkata : Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : “ketika seorang laki-laki sombong lagi besar diri dengan jambul pada pakaiannya, dan ia memanjangkan kainnya, Alloh pun menenggelamkannya dengan (perbuatan itu) dan ia berteriak (atau dikatakan ia menukik jatuh) ke dalamnya sampai hari kiamat”. (HR.Bukhori 10/258, Muslim (49), (2088), Ahmad 2/267, 315, 456, 467, Abu ‘Awanah 5/471-472)

Hadits Keenam :

Artinya:
“Dari Ibnu Umar bahwasannya Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : “ Alloh tidak akan melihat orang yang memanjangkan kainnya dengan sombong”.( Malik dalam Al muwattho’ 2/914, Bukhori 10/252, Muslim (2085), Tirmidzi 4/223, Ahmad 2/10, Ibnu Abi Syaibah 8/199, Hunad dalam Az zuhdi (844), Bukhori dalam Tarikh Al kabir 7/277, Ath thobroni dalam Al kabir 12/407, Ibnu ‘Adi dalam Al kamil hal. 2254)

Hadits Ketujuh :

Artinya:
“Dari Hubaib bin Mughoffal Al ghifari bahwasannya ia melihat Muhammad Al qurosy berdiri dengan memanjangklan kainnya, maka Hubaib pun melihat kepadanya dan berkata : aku telah mendengar Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : “barang siapa yang menurunkan (kainnya) dengan sombong, maka Alloh akan merendahkannya di neraka”. (HR. Ahmad 3/437,438, 4/237, dan anaknya Abdulloh dalam Zawaid Al snad 3/437, 4/237, Bukhori dalam Tarikh Al kabir 8/257, Abu Ya’la 3/111, Ath thobroni dalam Al kabir 22/206 dan dishohihkan oleh Al hafidz dalam Al ishobah 9/125, 10/237 dan derajatnya shohih)

Hadits-hadits yang telah disebutkan sebagiannya menyebutkan tentang isbal, akan tetapi maksud yang terkandung di dalamnya lebih besar lagi, yaitu takabbur dan merasa besar diri, hadits di atas tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits isbal pada umumnya, sebagaimana yang telah lalu bahwa orang yang memanjangkan kainnya akan mendapatkan hukuman yang berat begitu pula ancaman bagi siapa saja yang memanjangkannya lebih dari mata kaki, tetapi hukuman yang terdapat pada pelanggaran isbal kali ini lebih berat dan lebih besar, untuk itu hendaknya kita pandai-pandai membedakan antara hukuman bagi pelaku isbal saja, dengan orang yang isbal disertai sombong dan takabbur, setiap dari keduanya diadzab sesuai dengan berat hukuman masing-masing, karena adzab pada orang yang Nabi katakan dalam haditsnya “apa yang melebihi mata kaki, maka tempatnya di neraka”, tidak sama timbangan adzabnya pada orang yang Nabi sebutkan dalam haditsnya “barang siapa menurunkan kainnya dengan sombong , maka Alloh akan merendahkannya di neraka”. Setiap dari kita mengetahui bahwa penduduk neraka itu berbeda-beda dalam merasakan atau mendapatkan adzab, walaupun mereka sama-sama berada di dalamnya, di antara mereka ada yang mendapatkan adzab berlipat-lipat dibandingkan dari yang lain, di antara mereka pula ada yang mendapatkan se-ringan-ringannya adzab walaupun ia mengira bahwa dirinya adalah orang yang paling besar adzabnya.

Kalau kita mau menilik kembali kepada sekumpulan hadits-hadits terakhir di atas (yang menunjukkan akan takabbur), niscaya akan kita dapatkan bahwa sebagian besar hadits tersebut menunjukkan akan tidak melihatnya Alloh kepada para pelaku isbal, maka hukuman adzab di neraka lebih dahsyat dibanding dari yang selainnya, yaitu adzab yang ia rasakan dari waktu kematian sampai hari kiamat, dengan dalih sabda Nabi : “ia berteriak di dalam bumi sampai hari kiamat”. maka jelaslah bahwa setiap ma’siat mempunyai timbangan adzab masing-masing, untuk itu tidaklah pantas seorang mengatakan : aku memanjangkan kain bukan karena sombong, maka kita katakan : kalau ia memakainya tanpa kesombongan maka ia mendapatkan adzab yang telah ditentukan, kalau diniati sombong, maka adzabnya lebih besar lagi.

Beberapa Syubhat dan Jawabannya

Setelah mengetahui dalil-dalil yang cukup jelas tentang isbal, kita akan mengupas syubhat (pengkaburan dari hal yang sebenarnya) pada sebagian orang yang berpendapat bahwa isbal itu hanya disyariatkan bagi orang-orang yang sombong, mereka berdalih dengan alasan yang sangat lemah yang tidak mampu manghadang dalil yang telah tetap tentang pengharaman isbal, di antara dalih yang sering mereka gemborkan ialah hadits Ibnu Umar ketika Abu Bakar berkata : wahai Rosululloh, sungguh kainku yang sebelah melorot (karena kendor) dan aku selalu berusaha menjaganya dari isbal, Rosululloh menjawab : “engkau bukanlah orang yang berbuat sombong”, dalam riwayat yang lain, Abu Bakar berkata : sungguh kainku terkadang melorot, Nabi menjawab : “engkau bukanlah dari mereka”

Dalam riwayat lain juga beliau berkata : sungguh sebelah kainku melorot dan aku selalu berusaha menjaganya dari isbal, Nabi bersabda : “engkau bukanlah orang yang berbuat demikian”

Syubhat Pertama :

Mereka mengatakan : sesungguhnya sabda Rosul kepada Abu Bakar “sesungguhnya engkau bukanlah yang berbuat demikian”, menunjukkan bahwa larangan di sini hanya apabila diniatkan sombong, dan apabila tidak diniatkan sombong, maka tidak termasuk dalam ancaman hadits tersebut.

Jawaban :

1. Sebagaimana sabda Nabi kepada Hudzaifah ketika beliau memegang tulang betisnya beliau berkata : “ini tempat (batas) kain, apabila engkau keberatan maka turunkan (sampai sebatas mata kaki), apabila masih keberatan maka tidak ada hak bagi kain di bawah mata kaki”

Kalau kembali membaca hadits ini, apa kira-kira yang engkau pahami ?, apakah engkau memahami apabila tidak diniati sombong boleh bagi seseorang untuk memanjangkan kain sekehendaknya ?, ataukah engkau memahami bahwa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam menyuruh untuk menjadikan tempat (batas) kain seperti yang telah beliau tentukan pada awalnya (setengah betis) dan kemudian boleh menurunkan sampai sebatas mata kaki, lalu beliaupun mengancam kepada orang yang memanjangkan lebih dari mata kaki dengan sabdanya : “tidak ada hak bagi kain untuk melebihi mata kaki”.

Dan ini sungguh sangat jelas, karena dengan ini orang tidak memungkinkan untuk mengadakan syubhat akan bolehnya melakukan isbal dengan alasan apabila tidak sombong, diperjelas dengan sabda Nabi kepada Ibnu Umar Rodhiallohu anhuma ketika kelihatan kainnya menjulur (isbal) : wahai Abdulloh, angkatlah kainmu ! kemudian beliau berkata : angkatlah lagi ! dan hadits-hadits lainnya, yang tidak ada keterangan tentang bolehnya isbal jika tidak sombong !.

2. Sesungguhnya Abu bakar tidak mengatakan : “aku jadikan kainku panjang” atau “aku memakai pakaian panjang ” tetapi beliau berkata : “inna ahada syiqqoy izaari” (sesungguhnya kainku yang sebelah), dalam riwayat lain “inna syiqqi izaari” (sesungguhnya sebelah kainku), dalam riwayat yang lain lagi “inna ahada jaanibay izaari” (sesungguhnya kainku yang sebelah). Lafadz “assyiqqi” (dengan syin kasroh) dalam lisanul arob : assyiqqi dan assyiqqoh (dengan kasroh) berarti : “setengan dari pada sesuatu apabila dibelah”, dari sini diketahui bahwa yang dimaksud oleh Abu Bakar ialah setengan dari kainnya, adapun riwayat “inna izaari yastarkhii” (sesungguhnya kainku melorot), lalu berkata “ahyaanan” (kadang-kadang) . dan hampir di semua riwayat menyebutkan kalimat “yastarkhii”, dan dapat dipahami bahwa beliau tidak melakukannya dengan kesengajaan, karena kain beliau melorot dengan sendirinya, sebagaimana beliau katakan : “illa an ata’aahada dzalika minhu” atau “liata’aahada dzalika minhu” (tetapi aku selalu berusaha menjaga kain itu dari isbal).

Berkata Abu Toyyib : “ta’aahuduhu” berasal dari kalimat “at ta’aahud” yang berarti menjaga dan memelihara, maksudnya ialah sebelah kainnya yang melorot ketika digerakkan atau berjalan tanpa beliau sengaja, apabila beliau terjaga kain itu tidak akan melorot, karena setiap mau melorot beliau menariknya” . (Aunul ma’bud 11/141)

Keadaan yang Abu Bakar ceritakan kepada Rosululloh ini dijawab oleh beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam : “engkau bukanlah dari mereka (yang berbuat sombong) atau “engkau bukanlah orang yang berbuat sombong”, ini adalah sebuah kebenaran yang jelas, dan hendaknya setiap muslim berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam menjaga kainnya yaitu dengan menariknya apabila melorot bukanlah dari kesombongan sedikitpun, akan tetapi bagaimana mungkin perbuatan Abu Bakar dikiaskan (baca : disamakan) dengan orang yang menyengaja memakai pakaian panjang (isbal), lalu pergi ke tukang jahit dan mensyaratkan agar panjangnya sampai menyentuh tanah ?.

Begitu pula sebenarnya Abu Bakar tidak merelakan dirinya membiarkan kainnya melorot, untuk itu setiap kain itu melorot beliau langsung tarik, dengan dalih perkataan beliau : “inni la ata’aahadu dzalika minhu” (aku selalu berusaha menjaga kain dari isbal). Beliau “selalu” menjaga dan berikrar pada dirinya untuk terus menjaga dari isbal, karena kalimat “ata’aahadu” (seperti yang baliau ucapkan) adalah fi’il mudhori’ (kata kerja untuk menunjukkan kejadian pada masa sekarang dan yang akan datang)

3. Sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam : “barang siapa yang memanjangkan kainnya dengan sombong maka Alloh tidak akan melihatnya pada hari kiamat” lalu Abu Bakar berkata : sesungguhnya kainku yang sebelah melorot, Rosul menjawab dengan sabdanya “engkau bukanlah termasuk dari mereka”, dari sini dapat dipahami bahwa Rosululloh tidak mencela pemahaman Abu Bakar, beliau pun Shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan perkataannya kepada Abu Bakar saja, dengan ini berarti Abu Bakar telah berikrar bahwa isbal itu adalah kesombongan, beliaupun membersihkan diri dari hal itu karena melorot pada kainnya bukanlah sesuatu yang beliau kehendaki.

4. Sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar : “engkau bukanlah dari mereka (yang berbuat sombong), artinya engkau wahai Abu Bakar (memakai taa’ul khitob), jika engkau berbuat demikian dengan selalu menjaga kainmu dari isbal niscaya akan mengeluarkanmu dari golongan (orang-orang sombong), sedang mereka itu sebenarnya telah berbuat sombong, karena mereka tidak mengangkat kain mereka, bagaimana mereka akan mengangkat sedang mereka menyengaja untuk itu, kalaupun seandainya diangkat lalu tampaklah mata kaki mereka niscaya mereka akan malu dari manusia !.

Syubhat ke-dua :

Syubhat yang selalu mereka gembar-gemborkan dalam menanggapi hadits Nabi : “Dan jauhkanlah dirimu dari berbuat isbal, karena isbal itu termasuk dari kesombongan” , mereka mengatakan : kata (min : dari) menunjukkan tab’idh (sebagian), untuk itu ada isbal karena sombong dan juga ada isbal yang tidak karena sombong.

Jawaban :

Aku katakan : bahwa ini adalah pemahaman yang salah terhadap hadits, walau (min) memang untuk tab’idh (menunjukkan makna sebagian), tetapi ma’nanya bukan seperti yang mereka pahami, itu justru menunjukkan bahwa lafadz (al makhilah : sombong) bersifat umum masuk didalamnya isbal kain dan yang selainnya dan ini menjadi jelas tanpa diragukan bahwa isbal adalah kesombongan, dan pengulangan konteks hadits di atas ditujukan kepada orang yang sombong, karena sombong itu lebih besar perkaranya dari pada isbal dan hukumannya lebih berat seperti sabdanya : “Alloh tidak akan melihatnya” , dan “berteriak di dalam bumi sampai hari kiamat” ,dan yang selainnya, Nabi pun mengkabarkan bahwa kesombongan adalah haram begitu pula hal-hal yang dapat menyampaikan ke arah sombong, dan contoh yang paling jelas ialah isbal pada kain, sesungguhnya Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam mengancam dari isbal dengan sabdanya : “dan jauhkanlah dirimu dari isbal” . sebenarnya dengan hadits ini dan hadits-hadits yang lain sudah cukup untuk membatalkan dalih mereka, karena orang yang meyakini dengan syubhat ini ia hanya mengambil sebagian hadits lalu memahaminya dengan salah, dan mereka pun meninggalkan sebagian hadits yang lain, tidakkah Rosululloh menyuruh ia dengan sabdanya : “angkatlah kainmu sampai setengah betis” ?, sedangkan qorinah yang membatasinya hanya sampai pada mata kaki, adakah qorinah yang menyatakan untuk melebihkan dari mata kaki ?, tidakkah beliau memberi dua pilihan antara setengah betis dan di atas mata kaki dan mengancam yang melebihi darinya ?, kalau seandainya yang di fahami dari hadits tersebut memang seperti apa yang mereka yakini yaitu boleh memanjangkan kain apabila tidak sombong, maka apa tujuan Nabi menyebutkan setengah betis dan sebatas mata kaki ?, kenapa manusia tidak berfikir sebentar dan berkata dalam hatinya “kalau memang diperbolehkan isbal bagi orang yang tidak sombong itu adalah dasar dalam berpakaian, mengapa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam sampai menjelaskan dan berwasiat dengan segala wasiatnya dan mengancam dengan segala ancamannya, sampai-sampai beliau berlari mengejar seseorang dari Tsaqif ketika beliau melihatnya menjulurkan kainnya melebihi mata kaki ” ? .

Kemudian pada saat yang lain Nabi pun tidak menyebut kesombongan sebagai sebuah alasan dilarangnya isbal, padahal laki-laki tersebut sedang menutupi aib pada kakinya (seperti apa yang ia harapkan), tidakkah telah berlalu sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam : “kainnya seorang muslim itu sebatas setengah betis”. Telitilah dirimu !, kalau seandainya memanjangkan kain itu diperbolehkan dengan syarat tanpa kesombongan, lalu apa faedah dari hadits-hadits di atas ? apakah seseorang yang bodoh lebih-lebih yang berakal berprasangka bahwa apa yang dikatakan Nabi itu sia-sia belaka ?, lalu dimana firman Alloh : “Dan tidaklah Muhammad berkata deengan hawa nafsunya” (Surat An najm 3). Dan di mana sabda Nabi kepada Abdulloh ibnu Umar ketika beliau Shollallohu alaihi wa Sallam mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ke arah mulutnya, lalu beliau berkata : “tulislah !, demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali haq (kebenaran)” (.HR. Abu Daud (3646), Ahmad 2/162, 192, Ad darimi dalam muqoddimahnya)

Lihat lagi hadits Ibnu Umar !, ketika beliau Shollallohu alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk mengangkat kain, dan menegaskan agar mengangkatkannya lag sampai setengah betis. Begitu pula hadits Hudzaifah seperti yang belum jauh kami sebutkan. Dan hadits-hadits lainnya yang menerangkan tentang keharusan seorang muslim dalam menyikapi pakaiannya, dimana hadits-hadits tersebut tidaklah mensyaratkan kesombongan.

Syubhat ke-Tiga :

Ada beberapa hadits yang menyebutkan bahwa Nabi keluar dalam keadaan isbal :
Hadits Pertama:
Artinya:
“dari Abu Bakaroh berkata : ketika terjadi gerhana matahari, kami sedang bersama Nabi Shollallohu alaihi wa Sallam, beliapun berdiri dengan kainnya yang terjulur karena terburu-buru sampai beliau datang ke masjid dan manusia sedang berkumpul disana lalu sholat dua roka’at”(.HR. Bukhori 2/526, 547, 10/255, Nasa’I 3/127, 146, 152)

Hadits Kedua:
Artinya:
“Dari An nu’man bin Basyir berkata : terjadi gerhana matahari di zaman Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam , lalu beliaupun keluar dengan kainnya yang terjulur karena takut, sampai beliau mendatangi masjid dan sholat bersama kami sampai hilang (gerhananya)” (. HR. Abu Daud (1193), An nasa’i 3/141, Ibnu Majah (1262) dan sanadnya shohih)

Hadist Ketiga:
Artinya:
“Dari Abu Said Al khudzriy berkata : aku keluar bersama Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam pada hari senin ke Quba’, sampai ketika kami melewati Bani Salim, Rosulullah berdiri di pintu rumah ‘Itban, beliaupun meneriakinya lalu ia keluar dengan kainnya yang terjulur, Nabipun berkata : “kami telah membuatnya tergesa-gesa” . (HR.Muslim: 80, 343.)

Hadits Keempat:
Artinya:
“Dari ‘Imron bin Hushoin bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam sholat ashar dan mengucapkan salam pada roka’at ke tiga, kemudian beliau masuk ke rumahnya, berdirilah seorang laki-laki bernama Al khorbaq, ia memakai kain dengan lengan yang terlalu panjang (isbal), lalu berkata : wahai Rosululloh, (ia pun menyebutkan apa yang dilakukan oleh Rosululloh), kemudian Rosululloh keluar dalam keadaan marah dengan sorban yang terjulur, setelah sampai kepada khalayak ramai, beliau berkata : “benarkah yang dikatakan orang tadi ?”( . HR.Muslim (101), (574), Abu Daud (1018), An nasa’i 3/26, Ibnu Majah (1215)

Jawaban :
Ya, memang telah disebutkan dalam riwayat bahwa beliau keluar dalam keadaan kain yang terjulur, tapi bukan berarti ini bisa dijadikan dalih bagi orang yang mengatakan bolehnya isbal apabila tidak disertai sombong, itu disebabkan karena hadits-hadits di atas menyebutkan tentang keadaan isbalnya kain dalam keadaan tertentu, seperti terburu-buru, takut atau marah, dan ini jelas menunjukkan ketergesaan serta tidak adanya maksud memakai dalam bentuk seperti itu, seseorang tersebut tergesa-gesa dan terjulur kainnya, karena ia tidak pelan-pelan dalam memakainya, dan makna seperti ini sungguh sangat jelas dalam hadits-hadits yang menyebutkan tentang menjulurnya kain dengan alasan-alasan tertentu saperti kasus di atas.

Berkata Imam Nawawi : (arti dari menjulurkan sorban dalam hadits diatas) ialah dikarenakan Rosululloh terlalu sibuk dengan urusan sholat, sehingga beliau keluar dengan tanpa menyadari bahwa sorbannya terjulur, dan itu karena beliau tidak pelan-pelan ketika memakainya. (Dalam Ta’liq shohih Muslim hal. 405, 5/70 dengan syarah Imam Nawawi)

Begitu pula sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang ‘Itban, ketika ia keluar dengan kain yang terjulur : “kami telah membuatnya tergesa-gesa” yaitu, (kami telah membuatnya tergesa-gesa ketika ia baru saja menyelesaikan keperluannya dengan istrinya, dan belum memungkinkan untuk memakai pakaiannya), yaitu (kalau seandainya saja kami pelan-pelan dan tidak membuatnya tergesa, maka ia tidak akan keluar dengan kainnya yang terjulur), dan kalaupun perkaranya tidak seperti itu, kenapa Rosululloh sampai berkata : “kami telah membuatnya tergesa-gesa” ?, serta perbuatan beliau ketika sorbannya terjulur karena terburu-buru, hal seperti ini telah keluar dari kategori isbal, karena memang ada perbedaan besar antara orang yang menyengaja mamakainya isbal, dengan orang yang sebenarnya kainnya pendek tetapi terjulur karena suatu sebab, berkata Ibnu Hajar : “dalam hadits ini kalau seandainya isbal itu disebabkan oleh ketergesaan, maka tidak masuk dalam kategori larangan, seolah-olah larangan itu ditujukan kepada yang sombong (ketika memakainya), sebagaimana (hadits di atas) tidak bisa dijadikan dalih bagi orang yang menganggap bahwa larangan tersebut untuk selain yang meniatkan sombong, sehingga ia membolehkan (bagi dirinya) untuk memakai pakaian yang panjangnya menjulur sampai ke tanah” ( Fathul baari 10/255)

Sebelum selesai aku menasehatkan kepada saudaraku sesama muslim, hendaknya menjadikan para Salaf sebagai qudwah dan menjadikan Nabi sebagai uswah, seperti firman Alloh Subhanahu wa ta’ala :

“ Sungguh terdapat pada diri Rosululloh bagi kalian uswatun hasanah, bagi orang-orang yang mengharap Alloh dan hari akhir dan banyak berdzikir kepada Allah “( QS. Al ahzab :21)

orang yang selalu berharap dari Alloh untuk memperoleh rizki yang baik di dunia, dan tempat yang baik di akhirat, maka seharusnya ia berqudwah dengan Rosululloh Shollallahu alaihi wa Sallam dalam perkara kecil lebih-lebih yang besar sebisa mungkin, karena beliau tidak pernah memandang remeh perkara ini, bahkan beliau menganggapnya besar dan penting,untuk itu kita dapati beliau Shollallohu alaihi wa Sallam mengejar seorang yang kainnya terlihat terjulur panjang, beliaupun menaruh tangannya di kening beliau tawadhu’ kepada Alloh ketika melihat seseorang yang kainnya panjang terjulur, dan begitulah beliau Shollallohu alaihi wa Sallam menganggap perkara ini sebagai dosa besar, begitupun sahabat-sahabat beliau Radhiallohu ‘anhum mereka tidak memakai kain kecuali di atas mata kaki, dan mayoritas mereka memakainya sebatas setengah betis, sebagai bukti ketaatan mereka kepada Rosululloh dan mempraktekkan perintahnya, tidak seperti halnya yang diyakini oleh “sebagian orang yang tidak tahu”, mereka mengatakan bahwa kain pada waktu itu sangat sedikit dan para sahabat kebanyakan miskin tidak mempunyai harta untuk membeli pakaian mereka, dan mungkin ungkapan-ungkapan lain yang mereka lontarkan, kalau seandainya mereka mau meneliti kembali teks-teks yang kami telah sebutkan sebagiannya niscaya mereka akan mengetahui bahwa mereka telah mengatakan dengan sembarangan pada apa-apa yang mereka tidak tahu, dan mereka mengatakan dengan tanpa ilmu padahal sebenarnya tidak seperti apa yang mereka sangka, bahkan mereka para sahabat lebih memilih untuk ittiba’ kepada Nabi sebagaimana itu sudah menjadi keinginan hati mereka.

Dengan kemudahan dari Alloh inilah yang dapat saya rangkum dan kumpulkan tentang permasalahan isbal, seandainya ada kebenaran ,maka itu datang dari Alloh dan apabila ada kesalahan itu datang dari diri saya, dan saya memohon kepada Alloh agar menjadikannya bermanfaat.

Maha suci bagi Alloh dan sekalian pujian hanya untuk-Nya, aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq selain Engkau, aku memohon ampum dan bertaubat padaMu, dan akhir dari do’a kami Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. (Team Redaksi Al-Sofwa)

Rakyat Israel Ingin Negaranya Serang Gaza Lagi

0 komentar
February 8, 2010 — Abdullah Hadrami (Views: 6)

Negara Zionis Israel benar-benar dipenuhi manusia haus darah. Di tengah kecaman dunia, masyarakatnya menginginkan agar Gaza diserang lagi

Meskipun Israel mendapat tekanan dunia internasional atas serangannya ke Gaza tahun lalu, ternyata hal itu tidak membuat rakyat Israel kapok. Mereka bahkan berani mengajak perang lagi. Hal ini terungkap dari jejak pendapat baru-baru ini.

Enam puluh tujuh persen orang Israel menyatakan ingin perang, ketika ditanya oleh Independent Media Review Analysis, apakah yang seharusnya dilakukan Israel guna menanggulangi meningkatnya aktivitas di terowongan-terowongan antara Gaza dan Rafah, Mesir? Mereka bahkan mengkritik pemerintahnya yang tidak melakukan serangan militer lagi ke Gaza.

“Kita memiliki kebijakan di Israel sekarang ini, yang memperbolehkan Hamas mengoperasikan pabrik-pabrik mereka, menyelundupkan senjata, mempersiapan alat yang bisa menjangkau Tel Aviv. Semuanya itu akan terus berlangsung,” kata Dr. Aaron Lerner dari Independent Media. “Dengan tentara yang dilatih orang Iran, pertanyaannya adalah; apakah ini kebijakan yang tepat?”

Jeff Gafni selalu memimpikan putranya, Yuval, akan mengikuti jejaknya. Pria 67 tahun anggota pasukan terjun payung itu telah mengikuti banyak pertempuran Israel sepanjang hidupnya. Tahun lalu Yuval bergabung dengannya berperang di Gaza. Keduanya yakin, itu bukanlah perang terakhir bagi mereka.

“Tidak ada keajaiban yang bisa mengakhirinya (perang). Yang bisa dilakukan adalah sama persis dengan yang dilakukan tahun lalu, bahkan mungkin lebih hebat. Dan itu artinya bakal ada kerugian yang lebih banyak lagi di kedua pihak, dan mungkin berlangsung lebih lama,” kata Jeff Gafni.

Carl adalah seorang blogger profesional, yang mendedikasikan tulisan-tulisannya untuk mengobarkan perang Israel di Gaza.

“Menurut saya, orang-orang di luar Israel banyak yang tidak tahu, betapa tidak memuaskannya akhir perang tahun lalu. Perang itu berhenti tiba-tiba dan berakhir terlalu cepat. Ada rumor yang beredar di sini Januari tahun lalu, bahwa pemerintah Obama meminta perang diakhiri sebelum acara inaugurasinya digelar,” kata Carl.

Banyak juga orang Israel yang menyerukan agar terowongan-terowongan Gaza dihancurkan semua, meskipun bagi orang Palesina terowongan itu sangat berarti untuk menghubungkan mereka dengan dunia luar.

“Ada sekitar 3.900 workshop dan pabrik di Gaza, 95%-nya tidak beroperasi. Hal itu karena ada blokade, pos pemeriksaan yang sulit, dan perang yang brutal. Kegiatan bisnis bisa menyediakan pekerjaan bagi 35.000 orang. Di sini semuanya tergantung, apakah Anda memiliki pekerjaan atau tidak? Workshop yang ada memproduksi barang-barang ekspor. Sekarang kami tidak mengekspor barang apapun dan tidak mengimpor apa-apa,” kata Omar Al-Ejla, Presiden Federasi Industri Aluminium Palestina.

Pekan lalu Israel menyerahkan laporan setebal 46 halaman kepada PBB. Isinya menyatakan bahwa mereka mematuhi hukum internasional dalam serangannya ke Gaza. Namun, tim PBB yang bertugas memeriksanya berpendapat berbeda. Pihak PBB menyatakan, Israel menyerang target-terget sipil, seperti pabrik tepung satu-satunya di Gaza, di mana ditemukan pecahan bom yang dijatuhkan oleh pesawat tempur Israel.

Inna Michaeli dari Koalisi Perempuan Israel untuk Perdamaian mengatakan, masyarakat internasonal harus melakukan tekanan terhadap Israel.

“Selama Israel tidak ditekan oleh masyarakat internasional, dan tidak mencari cara lain untuk menyelesaikan masalah, tentu saja akan ada perang lainnya.” tandas Michaeli.

Pakar Asia Tengah: Rusia Menjadi Negara Islam di Tahun 2050

0 komentar
Para pakar yang berkonsentrasi pada wilayah Asia tengah, memprediksikan Rusia akan berubah menjadi negara Islam di sekitar tahun 2050 nanti. Mereka berharap negara seperti Mesir terus merangkul negara-negara persemakmuran Rusia yang berpenduduk muslim yang mencintai serta menjaga nilai-nilai Islam dan budaya Arab. Dari negara mereka telah lahir para ulama ternama di berbagai bidang ilmu keislaman, seperti Imam Bukhari dan Tirmizi, serta ulama lainnya yang banyak memberikan pengaruh dan kontribusi kepada dunia Islam.

Muhammad Salamah, spesialis Asia Tengah dan negara persemakmuran Rusia dalam seminar di Markas Kebudayaan Abdul Mun’im Al Showi di Kairo dengan tema, “Negeri Imam Bukhari dan Kekayaan yang Terpendam di dalamnya” mengatakan, puluhan pengkaji akademisi di Rusia telah menyimpulkan, berdasarkan perkembangan yang terlihat dari negara-negara muslim pecahan Uni Soviet ini, maka pada tahun 2050 nanti negara Rusia diprediksikan akan menjadi bagian dari negara Islam.

Perkembangan itu secara signifikan terjadi di Rusia, dari segi populasi misalnya, jumlah muslim di Rusia kini mencapai 25 juta jiwa, yaitu 20% dari jumlah total penduduk. Para cendikiawan gereja Ortodox yang berada di negeri itu pun dikabarkan merasa khawatir, melihat perkembangan Islam yang begitu pesat, mereka bahkan menyebut Islam sebagai agama yang mengancam esksistensi agama mereka di sana.

Salamah kemudian menambahkan, sejak 20 tahun lalu dirinya terus mengamati perkembangan Islam di Rusia, semenjak muslim di sana berada di bawah pemerintahan yang komunis dan mengalami masa-masa pengekangan, seperti dilarangnya membawa mushaf Al Qur’an, masjid-masjid di tutup, hingga akhirnya sekarang, muslim Rusia telah mendapatkan hak-hak mereka dengan baik. Dan Islam pun kini menjadi agama kedua di negeri itu.

Salamah kemudian bercerita tentang upayanya menyebarkan Islam, ia mendirikan sebuah Universitas Islam di Moskow, dan mengajarkan tentang apa itu agama Islam, termasuk kepada para politisi senior negeri itu, diantaranya adalah Pladimar Putin, Perdana Menteri Rusia sekarang.

Dubes Mesir untuk Tajikistan; sebuah negara muslim pecahan Uni Soviet kemudian menceritakan akan semangatnya nilai keislaman di sana, diantaranya dengan diadakannya perayaan hari kelahiran Imam Abu Hanifah pada tahun 2009 lalu, pemerintah setempat kemudian mengundang para ulama dari berbagai negara anggota OKI yang dipimpin langsung oleh Syeikh Al Azhar, mereka kemudian dijamu langsung oleh Presiden Tajik, Ali Rakhmonov. (sn/is/EM)

Syaikh Taysir Tamimi: Masjid Al-Aqsha akan Segera Runtuh

0 komentar
Syaikh Taysir Tamimi, ketua mahkamah Palestina memperingatkan kemungkinan akan runtuhnya masjid Al-Aqsha karena penggalian yang dilakukan oleh zionis Yahudi di bawah lantai masjid dan sekitarnya.

Syaikh Tamimi mengatakan hal tersebut dalam sebuah konferensi pers yang diadakan pada hari rabu kemarin (20/1) di Ramallah.

“Saya takut, kekhawatiran saya ini adalah yang terakhir sebelum runtuhnya masjid Al-Aqsha dan saya berharap umat Islam dunia harus segera bangun dari tidurnya untuk membela Al-Aqsha,” kata Syaikh Tamimi.

Pada konferensi pers tersebut Syaikh Tamimi juga memperlihatkan kepada pers, foto tanah yang longsor yang terjadi di dekat masjid Al-Aqsha akibat penggalian yang dilakukan zionis Yahudi di tempat itu, termasuk baru-baru ini runtuhnya sebagian kompleks masjid di wilayah Silwan yang terjadi hari Senin lalu, dan ia mengungkapkan bahwa adanya lubang yang dalam di bawah tanah.

Dia menekankan bahwa persoalan ini sangat serius, dan telah berulang kali ia memberikan peringatan akan akibat dari penggalian zionis Israel di bawah masjid Al-Aqsha, dan kembali menegaskan bahwa penggalian tersebut akan menyebabkan runtuhnya masjid Al-Asha, seperti dilaporkan AFP.

Longsor yang terjadi baru-baru ini di distrik Silwan merupakan indikasi dan fakta bahwa runtuhnya masjid Al-Aqsha akan segera terjadi.

Syaikh Tamimi mengulangi peringatannya akan bencana nyata yang mengancam masjid Al-Aqsha. “Kami telah berteriak seperti di lembah namun orang-orang tidak memperdulikannya, kalau hal ini terus terjadi masjid Al-Aqsha akan segera hancur,” kata Syaikh Tamimi.

Indikasi adanya konspirasi

Ketua mahkamah Palestina tersebut menekankan: “diam”nya otoritas Palestina adalah indikasi akan adanya konspirasi terhadap masalah ini, namun kami tidak mau langsung menuduh siapa pun, tapi diamnya aparat keamanan baik Palestina maupun Israel dan tidak adanya tindakan yang dilakukan terhadap Israel - menjadi tanda tanya bagi kita semua, mengapa Israel bisa bebas melakukan tindakan seperti itu.”

Pada tanggal 6 Februari 2007, Israel mulai bekerja melakukan penggalian di dekat gerbang Magharabi menuju ke halaman masjid Al-Aqsha dan kubah batu.(fq/imo/EM)

“Islam Progresif” dan Seks Bebas

0 komentar
January 30, 2010 — Abdullah Hadrami (Views: 455)
Akibat logis konsep dekonstruksi kitab suci, bukan aneh dukungan kaum liberal terhadap praktik seks bebas. Baca CAP Adian ke-276

Oleh: Dr. Adian Husaini*

Di antara pegiat “Islam Progresif”, atau “Islam Liberal”, nama Sumanto Al Qurtuby memang sudah bukan asing lagi. Alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang ini terkenal dengan ide-ide liberalnya yang sangat berani. Di sebuah Jurnal yang terbit di Fakultas Syariah IAIN Semarang, Justisia, ia pernah mengusulkan agar sejumlah ayat Al-Quran diamandemen. Belakangan, kaum liberal di Indonesia, semakin terbuka melontarkan wacana perlunya proses ”Desakralisasi Al-Quran”.

Meskipun sudah terbiasa membaca berbagai pendapat liberal dan progresif yang aneh-aneh, tetapi saya tetap terbelalak dan nyaris tak percaya, ada sebuah tulisan yang secara terbuka mendukung praktik seks bebas, asal dilakukan suka sama suka, tanpa paksaan. Tulisan Sumanto itu berjudul ”Agama, Seks, dan Moral”, yang dimuat dalam sebuah buku berjudul Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif (terbit pertama Oktober 2009). Kita perlu ”berterimakasih” kepada Sumanto yang secara jujur dan terbuka melontarkan ide liberal dan progresif, sehingga lebih mudah dipahami. Sebab, selama ini banyak yang mengemas ide ”Islam progresif” dan ”Islam liberal” dengan berbagai kemasan indah dan menawan, sehingga berhasil menyesatkan banyak orang.

Untuk lebih jelas menyimak persepsi ”Islam Progresif” tentang seks bebas ini, ada baiknya kita kutip agak panjang artikel dari penulis yang dalam buku ini memperkenalkan dirinya sebagai kandidat doktor bidang antropologi politik dan agama di Boston University. Kutipan ini ada di halaman 182-184:

”Apa yang diwartakan oleh agama (Islam, Kristen dan lainnya) hanyalah satu sisi saja dari sekian banyak persepsi tentang seks itu atau katakanlah sex among others. Bahkan jika kita kaji lebih jauh, ajaran Kristen atau Islam yang begitu ”konservatif” terhadap tafsir teks sebetulnya hanyalah reaksi saja atas peradaban Yunani (Hellenisme) yang memandang seks secara wajar dan natural. Kita tahu peradaban Yunani telah merasuk ke wilayah Eropa (lewat Romawi) dan juga Timur Tengah di Abad Pertengahan yang kemudian menimbulkan sejumlah ketegangan kebudayaan. Oleh karena itu tidak selayaknya jika persepsi agama ini kemudian dijadikan sebagai parameter untuk menilai, mengevaluasi dan bahkan menghakimi pandangan di luar agama tentang seks.

Apa yang kita saksikan dewasa ini adalah sebuah pemandangan keangkuhan oleh kaum beragama (dan lembaga agama) terhadap fenomena seksualitas yang vulgar sebagai haram, maksiat, tidak bermoral, dan seterusnya. Padahal moralitas atau halal-haram bukanlah sesuatu yang given dari Tuhan, melainkan hasil kesepakatan atau konsensus dari ”tangan-tangan gaib” (invisible hand, istilah Adam Smith) kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun otoritas agama. Teks-teks keagamaan dalam banyak hal juga merupakan hasil ”perselingkuhan” antara ulama/pendeta dengan pemimpin politik dalam rangka menciptakan stabilitas.

Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan – seperti secara eksplisit tertuang dalam Alqur’an – telah membebaskan manusia untuk memilih: menjadi mukmin atau kafir. Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak perduli, apalagi masalah seks? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktik ”seks bebas” atau praktik seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti tercantum dalam diktum keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri. Jika agama masih mengurusi seksualitas dan alat kelamin, itu menunjukkan rendahnya kualitas agama itu.

Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin – seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi – itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita, sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan, dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya ”mengakomodasi” bukan ”mengeksekusi” fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena ”daging yang kotor”, tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda. Paul Evdokimov dalam The Struggle with God telah menuturkan kata-kata yang indah dan menarik: ”Sin never comes from below; from the flesh, but from above, from the spirit. The first fall occurred in the world of angels pure spirit…”

Bahkan lebih jauh, ide tentang dosa sebetulnya adalah hal-hal yang terkait dengan sosial-kemanusiaan, bukan ritual-ketuhanan. Dalam konteks ini maka hubungan seks baru dikatakan “berdosa” jika dilakukan dengan pemaksaan dan menyakiti (baik fisik atau non-fisik) atas pasangan kita. Seks jenis inilah yang kemudian disebut “pemerkosaan”. Kata ini tidak hanya mengacu pada hubungan seks di luar rumah tangga, tetapi juga di dalam rumah tangga itu sendiri. Seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) dikatakan “memperkosa” (baik dalam rumah tangga yang sudah diikat oleh akad-nikah maupun bukan) jika ia ketika melakukan perbuatan seks ada pihak yang tertekan, tertindas (karena mungkin diintimidasi) sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman. Inilah tafsir pemerkosaan. Dalam konteks ini pula saya menolak sejumlah teks keislaman (apapun bentuknya) yang berisi kutukan dan laknat Tuhan kepada perempuan/istri jika tidak mau melayani birahi seks suami. Sungguh teks demikian bukan hanya bias gender tetapi sangat tidak demokratis, dan karena itu berlawanan dengan spirit keislaman dan nilai-nilai universal Islam.

Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, “demokratis”, tidak ada pihak yang “disubordinasi” dan “diintimidasi”? Atau bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady, call girl, dan sejenisnya? Atau hukum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda, atau wanita kesepian yang menyewa seorang gigolo untuk melampiaskan nafsu seks? Jika seorang dosen atau penulis boleh “menjual” otaknya untuk mendapatkan honor, atau seorang dai atau pengkhotbah yang “menjual” mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang “menjual” pantat dan pinggul untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?

Ada sebuah kisah dalam sejarah keislaman yang layak kita jadikan bahan renungan: ada seorang pelacur kawakan yang sudah letih mencari pengampunan, kemudian menyusuri padang pasir yang tandus. Ia hanya berbekal sebotol air dan sepotong roti. Tapi di tengah perjalanan ia melihat seekor anjing yang sedang kelaparan dan kehausan. Karena perasaan iba pada anjing tadi, si pelacur kemudian memberikan air dan roti itu padanya. Berita ini sampai kepada Nabi Muhammad yang mulia. Dengan bijak beliau mengatakan bahwa si pelacur tadi kelak akan masuk surga!

Kisah ini menunjukkan bahwa Islam lebih mementingkan rasa sosial-kemanusiaan ketimbang urusan perkelaminan…” (***)

Demikianlah gagasan “Islam-progresif” dalam soal kebebasan seksual yang diungkapkan Sumanto. Memang, sekarang, istilah “Islam progresif” sedang digandrungi kalangan perguruan tinggi Islam. Pada Juli 2009, di UIN Jakarta diadakan Konferensi ‘Debating Progressive Islam: A Global Perspective’. Tentu banyak tafsir dan penjelasan tentang makna “Islam Progresif”. Salah satunya adalah versi Sumanto.

Islam progresif biasanya dimaksudkan sebagai “Islam yang maju”, sesuai dengan asal kata dalam bahasa Latin “progredior”. Sebagaimana banyak pemikir yang mengaku progresif, mereka menempatkan Islam sebagai “evolving religion”, yakni agama yang selalu berkembang mengikuti zaman. Dalam perspektif ini, Islam juga dipandang sebagai agama budaya. Karena itulah, tidak mengherankan, jika mereka memandang tidak ada satu ajaran Islam yang bersifat tetap. Semua harus tunduk dengan realitas zaman. Agama ditundukkan oleh akal. Salah satu yang banyak dijadikan dasar pijakan adalah aspek “kemaslahatan” dan sifat Islam sebagai “rahmatan lil-alamin”. Dengan alasan inilah, berbagai kemunkaran dan kejahatan bisa disahkan. Tentang keabsahan praktik homoseksual, misalnya, ditulis dalam buku ini:

“Agama, apalagi Islam, yang mengusung jargon “rahmatan lil alamin” — rahmat bagi sekalian alam ini– harus memberi ruang kepada umat gay, lesbi, atau waria untuk diposisikan secara equal dengan lainnya. Tuhan, saya yakin tidak hanya milik laki-laki dan perempuan saja, tetapi juga “mereka” yang terpinggirkan di lorong-lorong sepi kebudayaan.” (hal. 176).

Karena berpijak pada realitas dan sejarah sebagai penentu kebenaran — juga syahwat atau hawa nafsu – maka teks-teks wahyu, sunnah Rasulullah saw, dan tafsir wahyu yang otoritatif dikesampingkan. Cara berpikir seperti ini juga sangat paradoks. Dengan berdalih sikap kritis kepada tafsir Al-Quran dari para ulama yang otoritatif, banyak kaum yang mengaku liberal dan progresif pada akhirnya tidak mampu bersikap kritis sama sekali pada sejumlah ilmuwan Barat. Mereka sangat ta’dzim dalam mengutip pendapat-pendapat ilmuwan non-Muslim. Ketika menyimpulkan bahwa dosa bukan karena ”daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan ruh yang penuh noda, dikutiplah pendapat Paul Evdokimov dengan penuh hormat dan takjub, bahwa si Evdokimov “telah menuturkan kata-kata yang indah dan menarik.”

Kita sudah sering membuktikan, sikap sok kritis yang diusung oleh kaum yang menamakan diri liberal dan progresif ini biasanya hanya kritis terdapat pendapat para ulama yang dianggapnya tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Dan Allah sudah mengingatkan dalam Al-Quran bahwa, jika seorang manusia sudah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, maka akan tertutuplah hati, telinga dan matanya untuk menerima kebenaran. (QS 45:23). Orang bisa memiliki kepandaian yang tinggi, tetapi ilmunya tidak bermanfaat, bahkan bisa merusak.

Karena itulah, untuk menjaga agar ilmu tidak merusak, para ulama selalu menekankan pentingnya masalah adab dalam urusan keilmuan. Dalam kitabnya yang berjudul Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, pendiri NU, Kyai Haji Hasyim Asy’ari mengutip pendapat Ibn al-Mubarak yang menyatakan: “Nahnu iaa qalilin minal adabi ahwaja minnaa ilaa katsirin mina ’ilmi.” (Kami lebih membutuhkan adab, meskipun sedikit, daripada banyaknya ilmu pengetahuan).

Demikian pendapat KH Hasyim Asy’ari. Orang yang beradab tahu meletakkan dirinya sendiri di hadapan Allah, Rasulullah saw, para ulama pewaris Nabi, dan juga tahu bagaimana menempatkan ilmu. Karena itulah, Al-Quran menekankan pentingnya ada klasifikasi sumber informasi di antara manusia. Jika sumber informasi berasal dari orang fasiq (orang jahat, seperti pelaku dosa besar), maka jangan dipercaya begitu saja ucapannya. Ada unsur akhlak yang harus dimasukkan dalam menilai kriteria sumber informasi yang patut dipercaya. (QS 49:6). Seorang yang tidak beradab (biadab) dalam keilmuan sudah tidak dapat lagi membedakan mana sumber ilmu yang shahih dan mana yang bathil.

Soal zina, misalnya. Sebagai Muslim, tentu kita yakin benar bahwa zina itu tindakan haram dan biadab. Keyakinan itu berdasarkan kepada penjelasan yang sangat tegas dalam ayat-ayat Al-Quran, banyak hadits Rasulullah saw, pendapat para sahabat Nabi, dan para ulama Islam terkemuka. Dalam soal zina ini, kita lebih percaya kepada pendapat para ulama ketimbang pendapat Karl Marx, Paul Evdokimov, Bill Clinton, atau Ernest Hemingway. Sebagai manusia beradab kita bisa membedakan, mana sumber informasi yang layak dipakai dan mana yang tidak. Sebab, Allah sendiri membedakan jenis-jenis manusia. Orang mukmin disebut “khairul barriyyah” (sebaik-baik makhluk) dan orang kafir disebut “syarrul barriyyah” (sejelek-jeleknya makhluk) (QS 98). Meskipun sering mengkampanyekan “kesetaraan semua pemeluk agama”, tetapi faktanya, kaum yang menamakan diri mereka sebagai pengikut “Islam liberal”, “Islam pluralis” atau “Islam progresif” juga tetap menggunakan identitas Islam. Tidak ada yang mau menyebut dirinya “kafir-liberal” atau “kafir-progresif”.

Sebenarnya, jika kita menelaah pemikiran liberal, dukungan terhadap praktik seks bebas bukanlah hal yang aneh. Ini adalah akibat logis dari sebuah konsep dekonstruksi aqidah dan dekonstruksi kitab suci. Jika seorang sudah tidak percaya bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan dan Nabi Muhammad saw adalah utusannya, kemudian dia pun tidak percaya kepada otoritas ulama-ulama Islam yang mu’tabarah – seperti Imam al-Syafii – maka yang dia jadikan sebagai standar pengukur kebenaran adalah akalnya sendiri atau hawa nafsunya sendiri. Kita paham, masyarakat Barat saat ini tidak memandang praktik seks bebas sebagai suatu kejahatan. Homoseksual juga dipandang sebagai hal yang normal. Sebaliknya, bagi mereka, praktik poligami dikutuk.

Nilai-nilai masyarakat Barat yang sekular – tidak berpijak pada ajaran agama – inilah yang sejatinya dianut juga oleh kaum yang mengaku liberal atau progresif ini. Bagi mereka, seperti tergambar dalam pendapat Sumanto ini, urusan seks dipandang sekedar urusan syahwat biologis semata, sebagaimana layaknya praktik seksual para babi, kambing, monyet, ayam, dan sebagaimana. Seks dianggap seperti soal buang hajat besar atau kecil, kapan mereka mau, maka mereka akan salurkan begitu saja. Yang penting ada kerelaan; suka sama suka. Tapi, bagi kita yang Muslim, dan juga pemeluk agama lain, jelas soal seksual dipandang sebagai hal yang sakral. Karena itulah, agama-agama yang hidup di Indonesia, sangat menghormati lembaga perkawinan.

Dalam pandangan Islam, jelas ada perbedaan nilai dan posisi antara penis dengan pipi, meskipun keduanya sama-sama daging. Bagi seorang Muslim, yang menjadikan “penis” dan “pipi” berbeda adalah nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam. Sebelum zaman Islam, banyak suku bangsa yang masih memandang sama kedudukan daging wanita dengan daging kambing, sehingga mereka menjadikan ritual korban dengan menyembelih wanita dan kemudian meminum darahnya. Seorang Muslim memandang penting perbedaan antara “daging manusia” dengan “daging ayam”. Daging ayam halal hukumnya untuk dimakan. Jenazah manusia harus dihormati. Jangankan dimakan dagingnya, jenazah manusia harus dihormati dan diperlakukan dengan baik.

Jika kaum liberal melakukan dekonstruksi dalam aqidah dan nilai-nilai moral, maka akibatnya, pornografi atau seks bebas pun kemudian didukung. Sebab, dalam pikiran liberal, tidak ada aturan yang pasti, mana bagian tubuh yang boleh dibuka dan mana yang harus ditutup. Yang menjadi standar baik buruk adalah ”kepantasan umum”. Kalau memang bertelanjang atau beradegan porno sesuai dengan tuntutan skenario dan dilakukan ”pada tempatnya”, maka itu dianggap sebagai hal yang baik.

Kepastian akan kebenaran dan nilai itulah yang membedakan antara Muslim dengan kaum liberal. Orang Muslim yakin dengan kebenaran imannya, dan yakin ada kepastian dalam soal halal dan haram. Hukum tentang haramnya babi sudah jelas dan tetap haram sampai kiamat. Begitu juga dengan haramnya zina, dan haramnya perkawinan sesama jenis (homo dan lesbi). Tapi, dalam perspektif liberal dan progresif, seperti dipaparkan oleh buku ini, larangan agama terhadap perkawinan sesama jenis ini pun dianggapnya sudah tidak berlaku. Tentang perlunya legalisasi perkawinan sesama jenis, ditulis dalam buku ini:

”Dan harap diingat, konsep perkawinan dalam suatu ikatan ”sakral” bukan melulu untuk mereproduksi keturunan melainkan juga untuk mewujudkan keluarga sakinah (ketenteraman/kebahagiaan). Maka, dalam bingkai untuk mewujudkan keluarga sakinah ini seorang gay atau lesbian harus menikahi sesama jenis. Justru melapetaka yang terjadi jika kaum gay-lesbian dipaksa kawin dengan lain jenis. Untuk mewujudkan gagasan perkawinan sejenis ini, maka paling tidak ada dua hal yang harus ditempuh: pembongkaran di tingkat wacana keagamaan, yakni teks-teks skriptural (dalam konteks Islam: teks tafsir dan fiqih khususnya) yang masih terkesan diskriminatif dan kemudian pembongkaran di tingkat struktur normatif masyarakat yang masih bias dalam memandang pola relasi antar-manusia.” (halaman 175).

Berulangkali kita menyerukan kepada kaum yang mengaku liberal, progresif dan sejenisnya, agar mengimbangi sikap kritis dengan adab. Ada adab kepada Al-Quran, adab kepada para Nabi, adab kepada ulama pewaris Nabi. Sayangnya, buku yang memuat pendapat yang merusak – seperti dukungan terhadap praktik seks bebas ini — justru dipuji-puji dan didukung oleh orang yang seharusnya justru bersikap kritis dan mendidik masyarakat dengan akhlak yang mulia.

Di sampul buku bagian belakang, dicantumkan sejumlah pujian. Djohan Effendi, pendiri Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), menyebut buku ini: “sangat inspiratif untuk melakukan refleksi atas perjalanan umat Islam selama ini. Pendapatan dan sikap kritis yang ia lakukan merupakan sumbangan yang sangat berarti untuk mendorong pemikiran progresif di kalangan generasi baru umat Islam yang menginginkan kemajuan bersama dengan orang dan umat lain.”

Di tengah upaya kita mendidik anak-anak kita dengan akhlak mulia dan menjauhkan mereka dari praktik pergaulan bebas, kita tentu patut berduka dengan sikap sebagian kalangan yang mengusung jargon “Islam progresif” tetapi justru memberikan dukungan terhadap praktik seks bebas semacam ini. Bagi kita, ini suatu ujian iman. Kita tidak bertanggung jawab atas amal mereka. Mudah-mudahan, dengan bimbingan dan lindungan Allah SWT, kita selamat dalam meniti kehidupan dan mengakhiri hidup kita dengan husnul khatimah. Amin. [Solo, 22 Muharram 1431 H/8 Januari 2010/hidayatullah]

Obat AIDS Yang Mujarrab

0 komentar
Alhamdulillah pada hari Senin 27 Shafar 1430 H bertepatan 23 Pebruari 2009 M kami Masjid An-Nur Jagalan Saleyer dan Radio Dakwah Islamiyyah An-Nur mendapatkan kunjungan tiga tamu istimewa.

Beliau adalah;

Fadhilatusy Syaikh Abdul Wahid Roja’ Al-Maghrobi –Hafidhahulloh [Murid Syaikhuna Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin –Rahimahulloh, Dosen Universitas Ummul Quro Mekkah, Guru Tahfidhul Qur’an Mekkah dan Da’i terkenal di KSA],

Fadhilatusy Syaikh Abdul Waliy Al-Arkani –Hafidhahulloh [Hafidhul Qur’an yang mempunyai rekaman murottal dan Imam serta Khatib Masjid Jami’ Khodimul Haromain Asy-Syarifain Al-Malik Fahd di Jeddah]

dan Al-Ustadz Yahya Al-Ja’fari –Hafidhahulloh [Guru di KSA dan mantan dosen yang diperbantukan KSA untuk UIN Malang].

Fadhilatusy Syaikh Abdul Wahid Roja’ Al-Maghrobi –Hafidhahulloh menyampaikan pencerahan rohani tentang Hakekat Syukur dengan penjelasan yang sangat indah disertai pelantunan qashidah yang menyentuh hati, terutama ketika beliau melantunkan Qashidah Nuniyyah Ibnul Qayyim –Rahimahulloh.

Beliau menyampaikan bahwa syukur itu harus sempurna dengan tiga rukun syukur, yaitu syukur hati, lisan dan perbuatan anggota tubuh.

Diantaranya beliau bercerita tentang kisah nyata seorang isteri yang tertular penyakit AIDS dari suaminya. Ceritanya, suami perempuan tersebut adalah laki-laki yang nakal dan melakukan kenakalannya di luar negeri. Ketika pulang ke negerinya, dia membawa oleh-oleh penyakit AIDS yang kemudian dia tularkan ke isterinya sewaktu berhubungan intim dengannya, dan secara otomatis sang isteri tertular penyakit hina tersebut.

Sang isteri ingin mencari kesembuhan dengan mendatangi seorang Syaikh [Ulama] untuk berkonsultasi tentang penyakitnya. Syaikh tersebut menasehatkan agar sang isteri itu memperbanyak pujian-pujian kepada Alah, berwudhu dan bershodaqoh karena shodaqoh mujarrab untuk mengobati berbagai penyakit. Isteri tersebut melaksanakan semua nasehat Syaikh itu, termasuk memperbanyak memanjatkan pujian-pujian kepada Allah.

Subhanalloh…Sungguh mencengangkan!!!….Setelah sekian lama, sang isteri memeriksakan kembali penyakitnya ternyata terbukti bahwa dia telah sembuh dari penyakit AIDS yang di deritanya…Allaahu Akbar!!!

Jadi, bersyukur kepada Allah dan memuji-mujiNya adalah obat mujarrab untuk semua penyakit termasuk penyakit yang katanya tidak bisa disembuhkan, seperti AIDS dan semisalnya, tentu saja semua ini disertai upaya medis, bershodaqoh dan doa-doa…

Beliau Fadhilatusy Syaikh Abdul Wahid Roja’ Al-Maghrobi –Hafidhahulloh berceramah sampai waktu Isya’ dan ditutup ceramahnya dengan doa-doa untuk para hadirin dan semua kaum muslimin.

Kemudian sholat Isya’ di-imami oleh Fadhilatusy Syaikh Abdul Waliy Al-Arkani –Hafidhahulloh dengan membaca surat Qoof lengkap dalam dua raka’at pertama. Qiro’ah beliau sangat indah dan menyentuh, apalagi yang dibaca adalah surat Qoof yang sarat dengan taushiyah. Rasanya kami sedang berada di Masjidil Haram dan iman kami-pun semakin bertambah…

Setelah itu ketiga Syaikh tersebut mengunjungi Radio Dakwah Islamiyyah An-Nur dan berbincang-bincang sejenak tentang dakwah dan perkembangannya…Kemudian pulang kembali ke penginapannya di Kota Batu…Jazaahumulloh khoir…

Semoga Allah jadikan kita semua istiqamah di jalanNya sampai berjumpa denganNya dan mendapat rizki berjumpa denganNya, memandang WajahNya yang Maha Mulia dan mendapat RidhoNya yang Dia tidak murka lagi kepada kita setelah itu selamanya, Allaahumma aamien…
 
Copyright © MUSLIM OF THE WORLD Blogger Theme by BloggerThemes & newwpthemes Sponsored by Internet Entrepreneur